Kamis, 26 September 2013

pengorbanan untuk perubahan

Nurdin Aceh Timur
Kemarin, Rabu 25 September 2013 di SMP Negeri 1 Julok Kabupaten Aceh Timur saya berdiskusi dengan guru-guru. Guru-guru cerdas yang berasal dari seputuran kota peureulak, Idi, Julok, Indra Makmu, Simpang Ulim dan Pante Bidari. Mulai guru SD, SMP, SMA dan SMK.

Pertemuan tersebut diinisiasi oleh Ikatan Guru Indonesia Aceh Timur. Banyak hal yang dibicarakan, mulai dari kemampuan membaca siswa SD kelas awal, kemampuan berhitung, penguasaan IT siswa dan guru, sampai persoalan yang berhubungan dengan rendahnya kemampuan insan pendidikan Aceh Timur dalam menghasilkan karya tulis, baik berupa artikel, karya tulis ilmiah, dan lain sebagainya.

Diskusi hangat dipandu oleh Sekretaris IGI Aceh Timur, Bapak Khairuddin, S.Pd. berjalan mulai pukul 14.00 s.d 17.00 WIB. Menjawab permasalahan yang mengemuka dalam diskusi, maka dilahirkan 3 kegiatan awal yang akan dilaksanakan di penghujung tahun 2013. Kegiatan tersebut adalah:
  1. Pelatihan Jarimatika untuk guru SD (tidak tertutup kemungkinan guru dari jenjang Menengah bila ingin ikut)
  2. Pelatihan Pembuatan Media PEmbelajaran Berbasis IT untuk internal anggota IGI Aceh Timur
  3. Pelatihan MS. Office untuk guru
Semua bisa diwujudkan atas pengorbanan waktu, biaya, dan sumbangsih pengetahuan anggota sesuai dengan motto IGI 'sharing and growing together". Semua pengorbanan untuk perubahan. 

Senin, 23 September 2013

Pengawas Profesional

Nurdin Aceh Timur
Seorang pengawas sekolah profesional dalam melakukan tugas pengawasan harus memiliki minimal 4 hal:
  1. kecermatan melihat kondisi sekolah,
  2. Ketajaman analisis dan sintesis,
  3. ketepatan dan kreatifitas dalam memberikan treatment yang diperlukan, serta
  4. kemampuan berkomunikasi yang baik dengan setiap individu sekolah
Dari 4 hal tersebut - saya kutip dari Buku Kerja Pengawas Sekolah - menunjukkan bahwa kerja pengawas bukanlah hanya pemantauan. Biasa dilakukan oleh pengawas sekolah dengan berkeliling lingkungan sekolah bersama pak Kepala Sekolah, sesekali berdialog dengan siswa, atau dengan beberapa guru yang secara kebetulan dijumpai. Kecermatan dalam melihat kondisi sekolah membutuhkan keahlian pengawas dalam melakukan penggalian data-data pelaksanaan pendidikan di sekolah, secara utuh untuk 8 Standar Nasional Pendidikan. 

Data-data yang diperoleh sangat penting karena akan menjadi bahan pertimbangan bagi pengawas sekolah tatkala menyusun program pengawasan. Tentu saja, penguasaan metode penelitian khususnya teknik pengambilan data harus dikuasai benar oleh pengawas. Kenyataannya tidak banyak pengawas yang sudah mempunyai kemampuan tersebut. Bukan juga salah pengawas, karena selama ini memang sedikit sekali kegiatan peningkatan kemampuan pengawas sekolah dalam bentuk seminar, diklat, dan lain-lain yang sudah dilakukan. 

Belum selesai persoalan item 1), persoalan pada item 2) tentang Ketajaman analisis dan sintesis pengawas sekolah terhadap kondisi sekolahnya. Tentu saja berdasarkan data-data valid dan shahih yang diperoleh dari pemantauan. Bagaimana mau menganalisis dan mengajukan sintesis agar mendapat jawaban penyelesaian persoalan, apa masalah di sekolah saja ada yang belum diketahui. 

Beranjak pada item 3) ketepatan dan kreatifitas dalam memberikan treatment yang diperlukan sekolah, pengawas sekolah kita masih butuh peningkatan kompetensi. Pelaksanaan tugas kepengawasan selama ini masih sebatas rutinitas kepegawaian. Yang paling sering dilakukan adalah pemantauan pelaksanaan UN, try out, penerimaan siswa baru, dan lain-lain yang justru tidak membutuhkan treatment  apa-apa. Rekomendasi apa yang bisa diberikan setelah UN selesai dari pengawas sekolah kepada sekolah binaannya. Belum ada pengawas sekolah yang dipecat karena siswa di sekolah binaannya rendah nilainya, contohnya begitu. Pengawas belum menjadi bagian komunitas sekolah binaannya, belum benar-benar menjadi pembina kepala sekolah dan guru yang mestinya ikut bertanggung jawab terhadap prestasi sekolah binaannya.

Kemampuan berkomunikasi yang baik dengan setiap individu sekolah juga amat penting. Selama ini komunikasi berjalan satu arah, bersifat instruksi dari pengawas di pihak superior, kepada guru dan kepala sekolah di pihak inferior. Kegiatan masih sebagian besar didominasi oleh kerja-kerja inspeksi. Jarang sekali ada pengawas yang ditelpon, di-sms, di-BBM, oleh guru atau kepala sekolahnya yang ingin mendiskusikan permasalahan pembelajaran di kelas. Jarang sekali. Sehingga fungsi pengawas sekolah sebagai pembina dan pemberi bantuan profesional kepada guru tidak berjalan maksimal. Tanpa data yang valid, analisis dan sintesis permasalahan yang lemah, miskin kreatifitas untuk melakukan treatment kepada sekolah, serta diperparah dengan komunikasi  yang monolog instruktif.

Memang, semua kondisi ini semata-mata bukanlah kesalahan pengawas saja. Ada banyak faktor yang membuat pengawas sekolah secara individu maupun organisasi kepengawasa belum bisa dikatakan profesional. Ada secercah harapan terhadap perbaikan keadaan ini, dimana Kemdikbud telah memprogramkan untuk melaksanakan program peningkatan kualifikasi pengawas sekolah ke jenjang S.2 di perguruan tinggi ternama di Indoesia. Program yang dimulai  sejak tahun 2010 ini telah banyak menghasilkan calon-calon pengawas sekolah profesional.

Menjadi harapan kita semua, pengawas sekolah sebagai penanggung jawab mutu pendidikan di sekolah dapat menjadi lebih baik lagi di masa depan.

Salam perubahan

Sabtu, 21 September 2013

Persoalan Klasik pendidik di Republik (bagian 2)

Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) yang dipersyaratkan harus terpenuhi penilaiannya untuk kenaikan golongan telah diatur dalam Permeneg PAN RB nomor 16 tahun 2009, tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya. PKB dilakukan dengan 3 cara, 1) pengembangan diri, 2) publikasi ilmiah, 3) pembuatan karya inovatif.

Pengembangan diri dapat dilakukan antara lain dengan melaksanakan kegiatan guru secara berkelompok. Dalam hal ini pengawas sekolah bisa saja menjadi narasumber, tutor, atau fasilitator kegiatan pengembangan diri tersebut. Sebagai sebuah profesi yang tergolong dalam soft skill, profesi guru memang membutuhkan pembinaan secara terjadwal dan berkelanjutan.

Pelaksanaan pengembangan diri guru di sekolah-sekolah kenyataanya tidaklah semudah seperti apa yang tertulis dalam berbagai peraturan maupun perencanaan ahli-ahli pendidikan. Kegiatan ini sulit dilakukan karena memang guru tidak akan berada di tempat pada saat tidak ada jam mengajar. Meskipun kewajiban 37,5 jam kerja guru berlaku, sebab guru juga berstatus sebagai PNS.

Jam kerja guru umumnya hanya mengacu pada roster atau jadwal mengajar. Bila ada jam mengajar guru baru ada di sekolah, setelah jam mengajar selesai maka guru pun banyak yang meninggalkan sekolah dengan berbagai alasan. Persoalan terbesar adalah umumnya guru di sekolah-sekolah adalah perempuan (ibu guru). Mungkin hal ini memang menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak yang pintar ketimbang laki-laki, karena mulai dari fakultas keguruan hingga di sekolah sebagian besasrnya adalah perempuan. Meskipun yang menjadi kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan umumnya adalah laki-laki.

Apakah salah guru (ibu guru) meninggalkan sekolah saat jam mengajarnya sudah tidak ada? Di satu sisi salah, karena jam kerja guru mengacu pada jam kerja PNS yang 37,5 jam. Tetapi bukan tanpa alasan para ibu guru segera pulang saat jam pelajaran tidak ada lagi. Setumpuk pekerjaan di rumah telah menunggu. Para ibu guru ini banyak yang juga sebagai ibu rumah tangga. Bahkan tak jarang merangkap sebagai kepala rumah tangga yang harus menafkahi keluarganya.

Inilah salah satu persoalan yang umum berlaku di daerah-daerah. Kapan pengawas sekolah bisa memberikan pembinaan, karena guru jarang yang punya waktu luang untuk sekedar berdiskusi persoalan pendidikan di tempat tugasnya. Memang tetap ada guru yang meluangkan waktu untuk kegiatan pengembangan diri, tetapi itu sangat sedikit sekali terjadinya.

Para ibu guru yang juga ibu rumah tangga ini sebetulnya cukup luar biasa. Pagi sebelum berangkat sekolah mereka harus menyiapkan segala keperluan anak-anak dan suaminya. Masih beruntung kalau sang suami faham profesi ibu guru ini dan mau memberikan sedikit bantuan. Tak jarang para ibu guru ini harus mengantar anaknya terlebih dahulu ke sekolah, lalu menitipkan honda (sepeda motornya) di tempat penitipan/parkir sebelum berangkat naik jumbo (angkot) menuju sekolahnya dengan waktu tempuh rata-rata 1 jam.

Saat sedang melaksanakan tugas sebagai pendidik dan pengajar, seiring waktu yang terus berputar, pekerjaan rumah tangga lainnya sudah menanti. Ibu guru harus secepatnya pulang untuk menyiapkan makan siang, menyuci pakaian, menggosoknya, dan membereskan rumah yang tentu telah berantakan setelah setengah harian di tinggal. Kapanlah lagi ada waktu untuk menyiapkan materi ajar, memeriksa PR siswa, dan lain-lain, tidak ada waktu untuk hal itu. Semua habis terpakai waktunya untuk mengurus pekerjaan sebagai ibu rumah tangga.

Jadi wajar, kalau para guru (ibu guru) di daerah ini tidak banyak yang memiliki akun facebook, twitter apalagi blog. Alasannya selain fasilitas adalah tidak ada waktu untuk itu. "Tak sempat pak untuk begituan", kata salah seorang guru di sebuah MGMP.

"Itukan hanya alasan, kan bisa dicari pembantu untuk masak, nyuci, beresin rumah, anar anak ke sekolah, dan lain-lain." kata seorang pakar menawarkan solusi. Benar, itu adalah sebuah solusi, tetapi solusi yang tidak gratis. pake uang, butuh anggaran. Mungkin dengan alasan itu juga pemerintah memberikan tunjangan profesi. Jadi uang dari tunjangan itu bisa digunakan untuk menggunakan jasa pembantu, sehingga guru bisa bertguas 37,5 jam seminggu di sekolah.

Persoalannya lagi belum semua guru dapat uang tunjangan tersebut. Yang sudah dapat pun "cairnya tunjangan" tidak teratur. Ketidak pastian ini membuat guru juga tidak berani mengambil jasa pembantu rumah tangga. Maka beruntunglah guru-guru yang tinggal di lingkungan saudaranya sehingga bisa terbantu sedikit pekerjaan di rumah.

Kembali lagi pada tugas pengawas sekolah. Sulitnya bertemu para guru membuat bantuan profesional untuk pengembangan diri tidak maksimal dilaksanakan oleh pengawas sekolah. Beruntung ada guru yang sudah aktif dengan ICT sehingga bisa melakukan dialog atau pun diskusi menggunakan fasilitas ICT. Persoalan yang dialami pendidik ini mungkin sudah ada dalam catatan pengambil kebijakan di kementrian, bahwa ternyata tunjangan profesi 1 kali gaji pokok masih belum mampu membuat guru (ibu guru) terbebas dari masalah rumah tangga hanya untuk sekedar memenuhi 37,5 jam kerja PNS.
Adakah guraru punya ide cemerlang mengatasi persoalan ini...!

Minggu, 15 September 2013

Ayo kita pindah ke Jakarta

Ayo kita pindah ke Jakarta", seperti ajakan yang sangat provokatif. Jakarta yang sudah padat karena manusianya tambah banyak, akan menjadi tambah padat lagi kalau ajakan ini didengar dan diikuti banyak warga negara di peolosok-pelosok atau pedalaman-pedalaman kabupaten/kota. 

"Siapa sih yang teriak ngajak warga pindah ke Jakarta." Bukan siapa-siapa, yang teriak itu yah Bang Jakarta sendiri. Terang-terangan Jakarta merayu orang agar datang padanya, dari banyak sisi dan banyak faktor. Ini kami alami saat 10 hari berada di Jakarta, gak bener-bener di Jakarta sih, tapi di pinggirannya.

Sisi Ekonomi
 Tarikan Jakarta dai sisi ekonomi sangat kuat agar orang mendekat. Anda akan merasa terpanggil saat belanja, baik itu belanja pakaian lebaran, belanja untuk pesta, belanja keperluan sehari-hari, atau bahkan saat beli sarapan pagi. Di kampung saya, sarapan pagi umumnya dibeli dengan harga Rp.10,000, ada juga yang Rp.8.000, tetapi standar di Jalan Banda Aceh-Medan adalah Rp,10.000. Tapi di Jakarta, dengan Rp. 10.000 kami bisa sarapan pagi bertiga, dengan sarapan  yang sudah oke, dan variatif menunya. Hehehe.
Contoh lain yang sederhana adalah saat membeli nuget ayam. Harga nuget di warung kampung, ukuran terkecil merek yang sama, harganya Rp.13.000. Di kampung saya, nuget itu harganya jadi Rp.23.000,-. Ada beda Rp.10.000. 

Tidak usah ditanyakan lagi gimana suara ajakan "Ayo  pindah ke Jakarta" kalau kita belanja di Tanah Abang. Harga pakaian satu stel di kampung saya harganya Rp.250.000, tapi di tanah abang cukup anda bayar Rp.85.000. Itu sama saja kita dipaksa pindah ke Jakarta 1x 24 jam.

Sisi pendidikan
Pendidikan di Jakarta gratis, karena dana BOS dan tunjangan daerah untuk pendidikannya luar biasa. Tunjangan pengawasnya saja lebih besar dari gaji pokok saya. Hehehe. Jakarta punya kampus terbaik di Indonesia, Universitas Indonesia di Salemba. Kampus-kampus bagus lainnya juga dekat-dekat situ. Jadi kita seperti diajarkan oleh Jakarta agar segera bergabung dengan penduduk sana yang sudah jarang penduduk lokalnya. Belajar di tempat terbaik, fasilitas kampus yang oke punya, dosen-dosennya asyik. Dan seabreg fasilitas lainnya yang gak ada di kampung saya.

Transportasi
Dengan Rp.3.500, saya bisa keliling Jakarta dari jam 5 subuh sampai jam 11 malam. Kalau mau. Tiket busway yang murah seolah sedang diantar pindah ke Jakarta. Belum lagi naik commuter line, kereta listrik dalam kota yang gak ada di mana-mana kecuali di Sana. Kita dipaksa masuk gerbongnya dan bergerak cepat pindah ke Jakarta. Karena tiket commuter line yang sangat murah. Jakarta-Bogor tidak sampai Rp.6.000. Tentu saja murah karena disubsidi negara.
DI kampung saya, dengan ongkos Rp.10.000, saya belum tentu sampai ke tempat kerja, bisa-bisa diturunkan di tengah jalan. 

Mati listrik
Di kampung saya sekarang sedang musim mati listrik. Setiap sabtu pagi sampai siang, dan minggu pagi sampai siang selalu ada jadwal mati listrik. Kebiasaan ini sudah hilang beberapa bulan, lah sekarang kambuh lagi. Di kampung saya tetap tenang walau listrik padam, tapi coba di Jakarta, listriknya mati sebentar saja PLN sudah gak sanggup nerima telpon "hidupkan listrik secepatnya." 
Bicara tentang listrik ini kan ibaratnya kita disetrum agar segera pindah ke Jakarta bila hidup mau terang dan masa depan yang lebih baik sesuai dengan mottonya PLN. 

Kalau mau dipaparkan satu per satu secara lebih detail, masih terlalu banyak. Tapi untuk apa, pembaca juga bosan kalau kepanjangan artikelnya. Tapi sekarang orang-orang di kampung saya mulai tidak telalu menghiraukan lagi Ajakan "Ayo pindah ke Jakarta" sejak ada polisi di tembak di depan gedung KPK, ada polisi ditembak di Depok. Belum lagi kasus kecelakaan lalu lintas si Dul di Jagorawi. Wah bikin ngeri.

Makanya, kalau ingin tenang dan bahagia jangan kita datang ke Jakarta, kalau bisa ni, Jakartanya aja kita bawa ke kampung...hehehe, ada yang setuju!

Sabtu, 14 September 2013

Sertifikasi Bikin Bahagia atau bikin sengsara?

Bukan salah niat DPR dan Pemerintah meningkatkan kesejahteraan para pendidik di Negeri ini, khususnya guru dan dosen. Ketulusan pemerintah mengalokasikan mata anggaran  tunjangan profesi bagi guru sejak beberapa tahun terakhir tetap harus diapreasisi. Terima kasih wakil-wakil kami di DPR, dan terima kasih juga para pelayan kami di Pemerintah.

Setiap kebijakan pastinya akan mengalami "ujian" dalam pelaksanaannya, begitu juga halnya dengan kebijakan tunjangan profesi ini. Logika yang berkembang di kalangan kaum intelektual mungkin sama, yaitu "apabila kesejahteraan guru ditingkatkan maka kinerja guru akan meningkat sehingga akhirnya mutu pendidikan juga akan bergerak naik secara linear atau berbanding lurus dengan jumlah guru yang menerima tunjangan profesi setiap tahun." Disinilah kebijakan ini diuji.

Siapa yang berhak menerima tunjangan profesi?

Kebijakan tentang pemberian tunjangan profesi ini juga dilakukan di negara-negara tetangga, baik tetangga dekat kita maupun tetangga jauh. Namun memang ada perbedaan dalam pelaksanaannya, terutama tentang siapa sih yang sebenarnya berhak menerima tunjangan profesi ini? Jelas yang menerima adalah guru pada pendidikan menengah, atau dosen pada pendidikan tinggi. Persoalannya adalah guru yang bagaimana yang berhak menerima?

Dari pengalaman penulis di Kabupaten Aceh Timur, umumnya penerima tunjangan ditentukan oleh masa pengabdian atau TMT PNS. Tentu menjadi pertanyaan, kalau keinginannya adalah untuk meningkatkan mutu guru dan kualitas pendidikan kita, mestinya pemberian tunjangan ini juga harus berbasis pada mutu. Mestinya hanya guru-guru yang berprestasi, atau paling tidak guru yang memiliki upaya untuk peningkatan mutu melalui kinerja sehari-hari di sekolah, itulah yang diberikan tunjangan. Jadi bukan berbasis umur. Kalau pemberian tunjangan ini berbasis umur, itu namanya bukan untuk peningkatan kualitas, melainkan pemerataan. Kita sebut saja namanya Tunjangan Pemerataan Kesejahteraan Guru Senior. Bisa juga disebut tunjangan pra pensiun namanya.

Pemberian insentif akan mempengaruhi sistem

Dalam sebuah sistem, sistem apa saja, tentu semua faktor atau sub sistem merupakan sesuatu yang penting, saling mendukung dan saling mempengaruhi. Begitu juga halnya dalam Sistem Pendidikan Nasional. Guru merupakan komponen sistem yang keberadaanya mutlak, tak tergantikan dan berada di garda terdepan untuk berinteraksi dengan siswa. Bukankah core business dalam sistem pendidikan adalah membelajarkan siswa. 

Pemberian insentif dalam bentuk penambahan penghasilan pasti dimaksudkan agar pelayanan yang dilakukan guru di dalam kelas menjadi lebih baik. Tapi kalau pelayanan guru tetap tidak baik, atau malah cenderung menurun tapi tetap diberikan insentif, maka justru hal ini tidak memacu guru meningkatkan kinerjanya. "Kalau kinerja tidak bagus saja sudah diberikan tunjangan lalu untuk apa capek-capek lagi meningkatkan kinerja." Begitu kata sebagian besar penerima tunjangan. Hal ini juga didukung oleh teori manajemen pemberdayaan sumberdaya manusia serta teori kinerja. 

Kalau berbasis kinerja, boleh gak ya ada rencana pemutihan

Target 2015 semua guru sudah harus tersertifikasi dan menerima tunjangan profesi 1 kali gaji pokok. Kalau program normal dengan sistem kuota, apakah mungkin tercapai. Nah, kalau tidak tercapai tentu amat memungkinkan dipakai jurus "pemutihan." Kementrian lain juga sering menggunakan "jurus" ini. Misalnya, pemutihan surat-surat kendaraan bermootor, pemutihan akta kelahiran, pemutihan surat tanah, pemutihan pengangkatan honorer, dan pemutihan lain. Kalau sampai ada pemutihan ini dalam pelaksanaan sertfikasi guru, jelas sudah bahwa sertfikasi di negeri kita bukan berbasis kinerja atau prestasi, tapi berdasarkan pemeratan saja. Apakah mutu pendidikan bisa juga diputihkan begitu ya, disamaratakan di seluruh Indonesia.

Berapa lama masa berlakunya "Lisensi guru profesional"

Sertfikasi adalah program untuk meningkatkan profesionalisme guru, dulu ada dua cara untuk mendapatkan sertfikat itu, portofolio dan Pelatihan (PLPG). Ibarat peserta kursus, setelah tamat kursus maka akan mendapat sertfikat kelulusan. Sebagai profesi yang masuk kategori soft skill, semua sertifikat tersebut tentu ada masa berlakunya. Pertanyaan yang belum terjawab adalah "berapa lama masa berlaku sertifkat pendidik?" Kalau berlaku seumur hidup tentu pemerataan juga namanya. Mestinya kan ada masa berlaku maksimal, tetapi bila waktu maksimal belum tercapai namun kinerjanya turun, mestinya sertifkat tersebut harus dicabut. Minimal ada tindakan untuk mengantisipasinya.

Guru bahagia murid sengsara

Paa saat pemberlakuan KTSP, guru yang sudah menerima tunjangan profesi dipersyaratkan mengajar 24 jam. Untuk mencukupi jumlah jam bagi guru-guru, sekolah melakukan penambahan jam. Misalnya, jam Matematika yang normalnya 4 jam, harus ditambah jadi 7 jam, sebab semua guru matematika yang senior sudah mendapatkan tunjangan profesi. Aturannya memang bukan seperti itu. Guru harus mencari sekolah lain untuk mencukupi jam mengajarnya. Tetapi sebagian besar guru tentu tidak mau susah-susah, kalau bisa dipermudah kenapa dibuat susah. Maka, sekoalh yang biasanya pulang jam 1, setelah sertifkasi pulanya jadi jam 1 lewat 45 menit. 

Kan bagus kalau jam belajar bertambah? BIla penambahan itu berdasarkan analisis kebutuhan mungkin ada benarnya. Tetapi bila penambahan ini terjadi hanya untuk memenuhi persyaratan bagi guru penerima tunjangan di satu pihak, maka siswa di pihak lain akan menjadi korban. Kurikulum saja membatasi berapa penambahan maksimal jam pelajaran dalam satu tahun.

Yah begitulah, sisi ekonomi ternyata lebih mendominasi kebijakan di level paling bawah dalam pemberian pelayanan pendidikan. Siswa tidak bisa meminta jam TIK yang ditambah, atau jam mata pelajaran kesenian yang ditambah. Kenapa, karean guru TIK dan Guru kesenian adalah guru honor yang belum menerima tunjangan profesi. Suka atau tidak suka, bahagia atau sengsara, maka para siswa rela jatah belajar mata pelajaran tertentu ditambah.

Ada yang lebih ironi lagi, karena sudah mendapatkan tunjangan profesi, para guru berlomba untuk menduduki jabatan di sekolah. Kenapa? karena dengan jabatan ini, kewajiban 24 jam beban gurunya akan terpenuh. Rasanya tidak adil, ada guru yang mengajar 24 jam tidak diberikan tambahan penghasilan, tetapi karena sudah menjabat wakil kepala sekolah, guru cukup mengajar 12 jam, namun mendapatkan tambahan gaji 1 kali gaji pokok. Penghasilan bertambah namun kehadiran di dalam kelas malah berkurang.

Hentikan atau lanjutkan

Ada perdebatan apakah sertifikasi ini sebaiknya diteruskan atau dilanjutkan? Alangkah sayangnya kalau ini dihentikan. Di tengah situasi perekonomian yang sulit, harga-harga melambung tinggi, semua guru yang sudah merasakan "lezatnya" uang tunjangan profesi pastinya ingin program ini dilanjutkan. Apalagi yang belum menerima, tentu ingin sekali merasakannya.

Jika program ini ingin dilanjutkan, tentu harus ada kajian-kajian. Hasil kajian ini bisa digunakan untuk memperbaiki program sertfikasi guru yang diikuti dengan pemberian tunjangan profesi ini. Kesiapan kita semua menjadi kunci suksesnya kehendak negeri agar memiliki sistem pendidikan yang berkualitas. 

Jumat, 13 September 2013

Persoalan Klasik Pendidik di Republik

Menjalani profesi sebagai pengawas dipandang enak oleh sebagian besar stakeholder pendidikan di daerah saya, Kabupaten Aceh Timur. Kerja pengawas santai, gak wajib masuk dari apel pagi, bisa libur kapan saja, tinggal bilang saja sedang di lapangan atau DL (Dinas Luar). Selesai! 

Kalau kita melihat kondisi pengawas sebelum KTSP berlaku mungkin ada benarnya. Tetapi sejak berlakunya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pada tahun 2003 lalu, tugas pengawas amat berat untuk diemban. Bayangkan, dari sekian banyaknya persoalan di dunia pendidikan, pengawaslah yang menjadi penjamin mutu pendidikan di sebuah satuan pendidikan. Dengan kata lain, apabila ada sekolah yang rendah kualitasnya, maka yang pertama sekali harus dimintai pertanggungan jawab adalah pengawas sekolah sebagai pembinanya. Apakah sudah benar pembinaan yang dilakukan.

Sebagai pembina satuan pendidikan (sekolah), pengawas sekolah mempunyai dua tugas utama, pembinaan bidang akademik untuk guru, dan pembinaan bidang manajerial untuk kepala sekolah. Namun, sebagai pengawas muda, tugas utama saya adalah pembinaan guru.

Sehari setelah dilantik menjadi pengawas sekolah, saya langsung melakukan blusukan (istilah yang tenar sejak pak Jokowi jadi gubernur DKI). Semua sekolah binaan saya datangi. Mulai dari sekolah binaan yang ada di pinggir jalan lintas sumatera (Jalinsum) sampai ke sekolah yang ada di daerah 3 T (terpencil, tertinggal, dan terdepan). Ada satu hal yang ingin saya ketahui, "apa persoalan utama yang dihadapi para guru di sekolah binaan." Kalau ada guru yang saya amati lemah dalam PBM, langsung didiskusikan, tak jarang saya juga menjadi model untuk menerapkan model pembelajaran tertentu, atau menjadi model dalam penerapan media belajar tertentu untuk menjawab persoalan guru di kelas. Pokoknya semua saya lakukan sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang saya peroleh selama 9 tahun menjadi guru, di SMA Negeri 1 Peureulak dan SMA Negeri Unggul Aceh Timur.

Dua tahun blusukan dan memberikan pelayanan dalam bentuk bantuan profesional kepada guru, ternyata saya kurang berhasil membuat guru semangat dalam melaksanakan tugas profesinya sebagai pendidik dan pengajar. Kesannya kok lebih banyak yang mengikuti kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan hanya untuk dapat uang transport, uang saku, dan sertifikat. Kegiatan MGMP sering miskin aplikasi atau tindak lanjut di sekolah. Pulang pelatihan atau MGMP, kinerja guru kembali seperti semula, "aku masih seperti yang dulu", katanya.

Saya tetap kesulitan untuk melakukan pertemuan dengan guru apabila dilaksanakan setelah jam pembelajaran terakhir. Ada saja guru yang minta ijin tidak bisa menghadiri pertemuan dimaksud dan memilih untuk langsung pulang ke rumah masing-masing. Tetapi kalau pertemuan dilakukan pada jam PBM aktif, misalnya jam 11 siang (setelah istirahat), semua sumringah mengikuti pertemuan, kenapa? karena boleh tidak mengajar di saat pertemuan berlangsung.  Duduk manis di kantor, mendengarkan ceramah pengawas, syukur-syukur sampe jam terakhir. Tetapi itu mungkin kasus dua tahun yang lalu, saya harap kondisi sekarang sudah berubah jadi lebih baik. Maklum saja, dua tahun sudah saya tinggalkan tugas kepengawasan karena ada tugas belajar peningkatan kualifikasi pengawas sekolah.

Persoalan lain adalah lesunya guru kalau kegiatan kepengawasan berhubungan dengan akademik, yaitu peningkatan kompetensi guru. Lebih lesu lagi kalau kegiatannya berhubungan dengan pembuatan Karya Tulis Ilmiah. Mungkin karena memang budaya baca-tulis di negeri ini belum sehebat negeri tetangga. Sehingga kegiatan yang berhubungan dengan KTI sepi pengunjung. Berbeda halnya bila kegiatan yang dilakukan bisa menambah pendapatan di luar gaji, rasanya setiap hari boleh dilakukan kegiatan yang seperti itu.

Persoalan paling  klasik adalah pendapatan guru yang pas-pasan mendekati kurang. Gaji guru tidak cukup untuk membeli tanah lalu membangun rumah, beli mobil, dan keperluan lainnya. Khususnya bagi yang sudah berkeluarga. Untuk mengatasi kekurangan biaya agar tertutupi kebutuhan akan perumahan misalnya, maka guru banyak yang mengajukan kredit konsumsi ke Bank. Lah kalau sudah kenal dengan Bank, maka guru akan bahagia, tetapi bahagia jangka pendek, kira-kira 3 bulan setelah pencairan pinjaman. Lewat 3 bulan, persoalan dan penderitaan jangka panjang harus dijalani oleh guru, kalau dulu hanya pas-pasan, setelah kenal dengan Bank menjadi empis-empisan. Sampai habis masa pensiun pun  hutang di Bank ada yang belum lunas. Luar biasa!

Sangat sulit kita dapatkan guru yang memiliki persoalan ekonomi bisa konsentrasi pada kegiatan PBM. Dari diskusi dengan beberapa orang guru, kalau sudah lewat tanggal 15 setiap bulan, yang ada dalam pemikiran adalah "usaha sampingan apa yang bisa dilakukan untuk menutupi defisit APBRT." Jadi akan sulit sekali guru bisa membuat penelitian tindakan kelas, lah wong yang dipikirkan adalah tindakan sampingan.

Melarang guru agar tidak mengambil kredit di Bank juga dilematis. Hal itu akan dianggap menghambat guru untuk memiliki rumah, membeli mobil, atau membuka uasha lain biar lebih sejahtera. Mesti ada aturan agar kredit para guru  tidak kelewat batas. Ada beberapa kasus gaji guru minus setiap bulan karena mengambil kredit dimana-mana, kredit di Bank, kredit sepeda motor, kredit laptop, kredit alat-alat elektronik lainnya, kredit pakaian, dan lain-lain. Akibatnya gajinya minus. Kalau sudah minus, jangankan untuk beli buku referensi, untuk beli bensin atau uang transport saja sudah tidak ada. Kalaupun guru tersebut sampai di sekolah, lalu disupervisi, hasilnya otomatis jelek, terus dikasih pelatihan atau dilakukan supervisi klinis, yah sama saja bohong. Gak ngaruh.

Melihat kondisi ini, pemerintah memberikan tambahan penghasilan melalui pemberian tunjangan profesi bagi guru yang telah selesai mengikuti program sertifikasi. Tunjangan profesi ini sangat besar, 1 kali gaji pokok setiap bulannya. Tetapi apa yang terjadi, setelah mendapatkan tunjangan tersebut, kredit guru juga menjadi tambah besar, gaya hidupnya berubah dari sederhana menjadi mendekati gaya hidup mewah. Kalau dulu naik honda roda dua, setelah sertifikasi naik honda yang rodanya empat, Honda Jazz.
Mungkin akan lain halnya kalau yang diberikan itu bukanlah tunjangan profesi. Guru butuh rumah, maka sediakan saja rumah, rumah untuk guru yang bisa dicicil tanpa bunga, tanpa DP. Guru butuh kendaraan, cukup buatkan saja program mobil nasional yang bisa menghasilkan mobil bagus tapi murah dan terjangkau, berikan mobil tersebut untuk guru dengan mekanisme pembayaran yang pasti dapat dijangkau oleh guru. Berikan beasiswa, atau asuransi pendidikan bagi anak-anak para guru agar bisa kuliah sampai S.3, sehingga guru tidak harus menggadaikan SK untuk menutupi kekurangan biaya pendidikan anak-anaknya. Dan kebijakan lain yang ternyata bisa dilakukan di negara tetangga serta membuat guru mereka sejahtera dan maju pendidikannya.

Kalau semua fasilitas itu sudah diberikan, tapi masih ada guru yang tidak cakap melaksanakan tugas profesinya, silahkan dipecat saja...

Rabu, 11 September 2013

PENTINGNYA PENILAIAN KINERJA GURU

Tahun Pelajaran 2013/2014 sudah dimulai sejak pertengahan Juli 2013 lalu. Interaksi antara guru dan siswa di kelas pun sudah berlangsung kurang lebih 2 bulan. Seorang pengawas sekolah merencanakan pelaksanaan tugas supervisi (pembinaan) di sekolah binaan mulai minggu ini. Setelah membuat program kepengawasan tahun 2013/2014, si pengawas memandang perlu melaukan penilaian awal performa guru di setiap sekolah binaannya. Namun, belum lagi rencana itu terealisir, terjadi dialog antara si pengawas dengan sahabat terdekat, calon guru yang baru saja tamat dari sebuah perguruan tinggi swasta di Kabupaten Aceh Timur.

Sahabat : Apa perlunya dilakukan penilaian terhadap guru?

Pengawas : Sangat perlu, apalagi penilaian awal kinerja guru, itu penting. Informasi dari penilaian awal kinerja guru ini akan menjadi masukan penting dalam menentukan program apa yang akan dilakukan pengawas dalam satu tahun ke depan.

Sahabat : Apa mungkin guru bisa dinilai begitu? Misalnya hasil penilaiannya kinerjanya jelek, tetapi itu dikarenakan penialiannya dilakukan pada jam 7 dan 8, itukan memang di saat kondisi kelas tidak kondusif bagi PBM, terutama bagi kinerja guru. Nah itu bagaimana hasil penilaiannya?

Pengawas : Penilaian itu menyangkut semua hal. Yang anda khawatirkan itu, semuanya kan masuk dalam keterangan atau deskripsi penilaian. Sebenarnya bukan hanya kinerja jelek yang butuh keterangan. BIla dalam penilaian itu kinerja guru atau dinamika PBM nya mantap, kita juga tuliskan deskripsinya. Misalnya, pembelajarannya berlangsung di kelas yang memiliki intake siswa tinggi, tingkat kesukaran materi pelajarannya rendah, berada di jam 1, 2, atau 3, 4. Jadi semuanya dituliskan, bukan hanya berpatokan pada instrumen penilaian performa saja.

Sahabat : Oke lah bisa kita tuliskan semua deskripsi itu, tetapi apa kita bisa menyatakan seorang guru itu jelek dalam pembelajaranna, padahal pada saat itu kebetulan sang guru memang sedang jelek, sedang tidak ada mood misalnya!

Pengawas : Itu disiasati dengan teknik triangulasi bro. Ada triangulasi waktu, triangulasi tempat, dan triangulasi sumber. Kalau jelek dinilai pada jam siang, maka kita akan lakukan penilaian juga pada pagi hari. Apabila kita nilai baik kinerjanya saat di kelas A, maka akan kita lakukan juga penilaian pada kelas D, E atau F. Atau kita gunakan triangulasi sumber, apabila menurut kita seorang guru itu baik kinerjanya, belum tentu sama hasilnya bila penilainya adalah orang yang berbeda. Itulah teknik untuk mendapatkan hasil yang benar-benar mendekati keadaan penilaian yang ideal.

Sahabat : Penilaian itu untuk apa pak, hanya mencari kesalahan guru saja, tidak lebih!

Pengawas :  Itu paradigma lama bro. Dulu, penilaian guru untuk memang untuk mencari kesalahan guru. Kenapa? Karena guru masih dianggap sebagai alat produksi untuk mencapai tujuan. Itulah paradigma priode industrialisasi. Guru diumpakan mesin produksi untuk mencapai target produksi, kalau di dunia pendidikan yah untuk mencapai tujuan yang ditentukan oleh kepala sekolah. Dalam dunia industri, di pabrik, mesin-mesin itu harus selalu dicek, pekerjanya juga, bila ada masalah atau ada kesalahan, harus dideteksi secepatnya, diperbaiki segera, sehingga target produksi akan tercapai. Dalam paradigma industri ini, yang dilakukan pengawas adalah inspeksi. Inspeksi inilah yang difahami guru "pengawas hanya mencari kesalahan" saja. Tetapi saat ini paradigmanya kan sudah bergeser, guru tidak lagi dianggap sebagai alat untuk mencapai tujuan, tetapi guru adalah manusia. Yang dilakukan pengawas saat ini adalah supervisi dengan teori manajemen pemberdayaan sumberdaya manusia. Jadi tugasnya adalah memandang guru sebagai manusia, kalau ada kesalahan atau kekurangan, yang penting adalah bukan menyalahkannya, tetapi bantuan apa yang harus diberikan pada guru agar menjadi guru yang lebih baik. begitu.

Sahabat : Berarti sudah ada pergeseran sejauh itu ya?

Pengawas : Bukan jauh lagi, tetapi memang sudah nyebrang. Tugas pokok pengawas saat ini adalah memberi bantuan profesional kepada guru dan kepala sekolah yang menjadi binaannya agar dapat menjalankan profesinya secara profesional. Jadi, kalau ada pengawas masuk ke dalam kelas saat PBM, itu bukan ditujukan untuk mencari kesalahan guru, melainkan sejauh mana sudah PBM berjalan sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam Standar Proses. Disamping itu, pengawas juga mengidentifikasi hal-hal apa yang masih perlu diperbaiki, bagaimana cara pemberian bimbingan kepada guru bila diperlukan, menggunakan metode apa, secara diskusi atau dengan model pelatihan. Pada intinya, bukan lagi infeksi tetapi benar-benar supervisi.

Sahabat : Kenyataannya masih banyak guru yang takut kalau ada pengawas datang ke dalam kelas, bagaimana mau disupervisi, baru dilihat saja sudah takut duluan.

Pengawas : Kalau dulu ada guru yang begitu mungkin bisa dimaklumi. Pengawas dulu kan para sepuh di dunia pendidikan, sudah tua umurnya apalagi ilmunya, pasti lebih tua lagi. Tetapi pengawas sekarang sudah banyak yang muda-muda. Komunikasinya juga tidak monologis seperti dulu, sekarang antara pengawas dan guru bisa diskusi dimana saja, dan kapan saja. Media komunikasi yang sangat banya saat ini memudahkan terbentuknya kultur belajar antara pengawas dan guru binaannya. Banyak diskusi yang berkembang cukup bagus di facebook. Guru sekarang juga bisa mengetahui kualitas pengawasnya dari tulisan-tulisan yang di unggah oleh pengawas sekolah mereka. Ibaratnya ada tamu, sekarang ini guru sudah tahu tamu jenis apa yang mau datang ke kelasnya, dan sudah tahu juga tamu tersebut mau melakukan apa. Tidak menduga-duga lagi sebab semuanya sudah dikomunikasikan sejak awal antara guru dengan pengawas.

Sahabat : kalau masih ada yang takut juga, bagaimana?

Pengawas : kalau sudah begitu aturan dan pelaksanaannya tapi masih takut juga, tentu hanya ada 2 hal. 1) Gurunya tidak siap, punya salah, atau memang belum kompeten untuk menjadi guru. 2) pengawasnya yang tidak siap, atau tidak kompeten untuk menjadi pengawas. Coba anda bayangkan kalau ada guru yang cuma modal nekat masuk ke dalam kelas, lalu ada yang mengamati kerjanya di kelas, apa gak keluar keringat dingin. Begitu juga sebaliknya, kalau ada pengawas yang cuma modal SK pengawas dari Kadis, lalu sudah merasa paling tahu dan lebih pintar dari gurunya, ujung-ujungnya kerjaan kepengawasan berakhir pada infeksi saja. Yang kita harapkan tentu kedua-duanya siap.

Sahabat : Mohon maaf ni pak, saya mau tanya "apakah kondisi pengawas sekolah aceh timur saat ini sudah profesional semua?", maksud saya begini, kalau selama ini pengawas menilai kinerja guru dan kepala sekolah, lalu siapa yang menilai kinerja pengawas sekolah. Jangan-jangan pengawas banyak yang betul kerjanya tapi gak ada yang menilai, jadi gak ada yang tahu, pak? ini tapi jangan diekspos ke blog bapak ya, antara kita berdua aja, gak pake Konspirasi Hati pak.

Pengawas : Secara sistem, pengawas dinilai oleh koordinator pengawas. Koordinator melaporkan kepada kepala dinas tentang kinerja pengawas sekolah di bawah koordinasinya. Selain itu, sebetulnya para guru dan kepala sekolah juga boleh menilai kok kinerja pengawas sekolahnya. Secara aktif guru atau kepala sekolah bisa meminta ganti bila memang pengawas yang menjadi pembina sekolah mereka tidak cakap. Lalu secara pasif juga bisa, kinerja pengawas itu dapat dilihat bagus atau tidak dapat dilihat dari prestasi sekolah binaannya. Jadi kalau ada guru dan kepala sekolah atau bahkan siswa di sekolah yang semakin lama bukan semakin bagus, nah itu sudah menjadi indikasi bahwa pengawasnya cuma bisa ngomong doang, gak bisa kerja. Gampang kan.

Sahabat : harus  ada transparansi juga ya pak?

Pengawas : Transparan dan berkeadilan. Sama seperti guru, kalau ada pengawas sekolah saat ini sudah merasa paling tahu  bagaimana kurikulum 2013 itu saya anggap pengawas bohong. Dilaksanakan saja belum kok sudah merasa paling tahu. Yang paling tahu kurikulum 2013 itu kan guru, guru yang menerapkannya di sekolah. Pengawas ini mestinya kembali juga ke sekolah, ngajar lagi menggunakan kurikulum 2013 sambil melakukan riset yang berhubungan dengan kepengawasan. Nah baru tahun 2014 nanti dia bisa mentransfer pengalamannya 1 tahun itu kepada guru-guru. Baru ikut sosialisasi kurikulum saja lalu sudah mau menilai guru, jelas ditolak sama guru. Nah bagi saya itu namanya berkeadilan. Jangan sampai nanti ditantang oleh guru untuk implementasi kurikulum 2013 malah keok pengawasnya. Walaupun selama ini tidak banyak guru yang punya sikap seperti itu. Yang saya inginkan dalam ke depan ini pengawas dan guru serta kepala sekolah menjadi mitra dalam memajukan dunia pendidikan, khususnya Aceh timur.

Sahabat : terima kasih pak atas pencerahannya. Saya mau melaksanakan tugas, mau ngajar lagi.

Pengawas : Baik, terima kasih kembali. Saya juga mau masuk ke kelas X, mau bersosialisasi dengan siswa unggul kelas X, kan kemarin gak terlibat MOS, jadi belum kenal mereka. Saya juga ingin melihat performa guru-guru yang baru bergabung ke SMA Negeri Unggul Aceh Timur.

Sahabat : Baik, Pak! Sampai jumpa lagi.

Kamis, 05 September 2013

PENGAWAS ERA BARU

MEMFASILITASI MGMP

Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) merupakan sebuah wadah berkumpulnya para guru berdasarkan jenjang pendidikan dan mata pelajaran. Wadah ini menjadi sangat strategis bagi para guru karena dapat menjembatani para guru untuk dapat bertemu, berdiskusi, saling tukar informasi seputar pelaksanaan tugas profesi di sekolah masing-masing beserta segala persoalan dan langkah penyelesaiannya. MGMP menjadi wadah yang paling murah, karena pertemuan ini dapat dilakukan di sekolah, sehingga tidak memerlukan banyak biaya dan perizinan yang rumit dalam pelaksanaannya. Peserta MGMP adalah para guru, menyebabkan wadah ini semestinya tidak akan pernah kekurangan peserta dalam setiap pelaksanaannya.

Di Kabupaten Aceh Timur sudah sangat sering para guru bertemua dalam sebuah MGMP. Pertemuan ini umumnya dilakukan dipusat-pusat kecamatan yang dapat dijangkau dengan angkutan umum oleh para peserta. Selain di ibu kota kecamatan, MGMP juga diadakan di Ibu Kota Kabupaten, khususnya untuk MGMP jenjang Pendidikan Menengah (SMA / SMK). Letak SMA/SMK di Kabupaten Aceh Timur yang memiliki sebaran geografis berjauhan menyebabkan MGMP SMA/SMK sering diadakan di Kota Idi – Ibu Kota Aceh Timur. Sementara untuk MGMP SD dan SMP lebih sering dilakukan di Ibu Kota Kecamatan yang menjadi pusat Gugus Pendidikan.

Materi yang dibahas dalam MGMP idealnya mencakup 4 kompetensi guru. Namun, pada kenyataannya sering fokus bahasan seputar Metode Belajar, Pendalaman Materi, dan sedikit menyinggung tentang Karya Tulis Ilmiah sebagai kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan. Jika dilihat dari empat kompetensi guru – paedagogik, sosial, kepribadian, dan profesional – maka MGMP baru mendiskusikan 2 kompetensi saja, yaitu paedagogik dan profesional. Masih Jarang sekali MGMP membahas tentang kompetensi sosial dan kepribadian.

Kurangnya porsi diskusi MGMP terhadap kompetensi sosial dan kepribadian menunjukkan bahwa dua kompetensi ini dianggap sudah tidak ada masalah lagi sehingga tidak penting untuk diagendakan dalam MGMP. Pengalaman dalam pelaksanaan MGMP di Aceh Timur selama ini, dari seluruh Kompetensi Inti Guru yang berjumlah 24 buah, baru kira-kira 45% komptensi yang dibahas dalam MGMP. Misalnya kompetensi yang ke-19, “berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan dan tulisan atau bentuk lain.” Kompetensi ini memiliki dua sub kompetensi yaitu, 1) Berkomunikasi dengan teman sejawat, profesi ilmiah, dan komunitas ilmiah lainnya melalui berbagai media dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan; 2) Mengkomunikasikan hasil-hasil inovasi pembelajaran kepada komunitas profesi sendiri secara lisan dan tulisan atau bentuk lain. Kompetensi ini jarang sekali dibicarakan dalam MGMP di Aceh Timur. Hal ini dapat dilihat dari minimnya para peserta MGMP yang mengikuti lomba-lomba penulisan hasil inovasi pembelajaran, baik tingkat propinsi maupun tingkat nasional.

Begitu juga dengan kompetensi yang lainnya, masih banyak yang belum masuk dalam agenda MGMP. Bicara yang ideal memang tidak selalu dapat diwujudkan dalam kenyataan. Tanpa bermaksud mengecilkan makna pelaksanaan MGMP selama ini, khususunya yang terjadi di kabupaten Aceh Timur, rasanya perlu untuk disampaikan beberapa hal yang butuh perbaikan.
  1. Kurangnya perhatian dari dinas pendidikan. MGMP yang dilaksanakan umumnya menggunakan dana dari propinsi (APBA), jarang sekali APBD mengalokasikan anggaran untuk kegiatan MGMP. Atau bisa jadi dinas pendidikan sudah mengusulkan alokasi anggaran tapi ditolak oleh DPRK.
  2. Pelaksanaan MGMP sering dadakan, tidak terencana dengan baik, hal ini karena menunggu pencairan dana pelaksanaan MGMP dari propinsi. Akibatnya kegiatan MGMP selalu berada di penghujung tahun antara bulan September sampai Nopember setelah dana MGMP turun.
  3. Kurangnya SDM yang dapat memberikan pencerahan dalam proses MGMP. Hal ini berdampak pada sedikitnya pertemuan dan sedikitnya juga peserta MGMP.
  4. Peserta MGMP monoton, artinya orangnya itu-itu saja. Ada pergantian peserta, tetapi bukan karena kebutuhan melainkan menggantikan peserta lama yang sudah promosi menjadi kepala sekolah.
  5.  MGMP yang berjalan lemah dalam tindak lanjut. Hasil-hasil MGMP sepertinya tidak membantu kinerja guru secara signifikan malah cenderung dilupakan.
  6. Para guru belum memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya melakukan MGMP. Apabila ada kesadaran tersebut, diharapkan para guru dapat mewujudkan sebuah MGMP yang mandiri berdasarkan tuntutan kebutuhan profesi.

Mengingat betapa pentingnya peran MGMP bagi peningkatan kualitas guru yang akan bermuara pada terciptanya peningkatan kualitas pendidikan, kini mulai ada kebijakan Kementrian Pendidikan untuk melakukan revitalisasi MGMP. Sebagaimana disampaikan oleh Dr. Zamroni, Direktur Pendidikan Menengah Umum, dalam sebuah presentasinya tentang persoalan revitatlisasi ini. Menurut Zamroni, MGMP di masa depan akan diarahkan untuk :
v  Mengembalikan jati diri dan watak guru               
(Percaya diri, Jujur dan objektif, Menegakan kebenaran, mencegah kebatilan, Antisipatif, Menekankan pada pencegahan, menjadi Bapak            dan sahabat siswa).
v  Meningkatkan penguasaan materi ( Materi dasar, Aplikasi materi, Pengembangan materi ).
v  Meningkatkan kemampuan aplikasi PBM
v  Memahami dan melaksanakan innovasi
-          Pembelajaran kooperatif
-          Memanfaatkan  peralatan modern dalam pembelajaran
-          Guru sebagai Fasilitator, pelatih dan tutor
-          Kemampuan berpikir dan memberi makna
-          Kemampuan menjalin hubungan dan bekerjasama
v  Menciptakan kebersamaan dan   persaudaraan
-          Melihat dan membicarakan kebaikan fihak lain
-          Saling memberikan perhatian dan    pertolongan
-          Memperkuat silaturahmi
-          Mengembangkan rasa saling percaya
v  Membangun kesadaran politik
-          Melek politik
-          Aktif berpolitik, mandiri, non partisan
-          Membangun kebersamaan pandangan politik
-          Memperjuangkan pandangannya

Dengan penuh harapan, semoga MGMP Kabupaten Aceh Timur ke depan dapat berperan lebih baik lagi bagi peningkatan kualitas pendidikan di Kabupaten Aceh Timur khususnya. Dengan niat dan harapan yang baik, pada hari ini kami akan melaksanakan MGMP Biologi SMA se Kabupaten Aceh Timur di SMA Negeri 1 Idi Rayeuk. Acara akan dimulai tepat pukul 14.00 WIB.