Sabtu, 01 Desember 2012

SPM KEPENGAWASAN

MINI OBSERVASI


Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan Dasar dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia diatur melalui Permendiknas Nomor 15 Tahun 2010. Standar pelayanan minimal pendidikan dasar selanjutnya disebut SPM pendidikaan adalah tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan dasar melalui jalur pendidikan formal yang diselenggaraka daerah kabupaten/kota. Salah satu aspek yang dikukur adalah pelayanan kepengawasan yang menjadi tugas pengawas satuan pendidikan, khususnya tugas yang dilakukan melalui kunjungan atau visitasi ke sekolah binaan.

Kunjungan pengawas kesatuan pendidikan dilakukan satu kali setiap bulan dan setiap kunjungan dilakukan selama 3 jam untuk melakukan supervisi dan pembinaan (pasal 2, huruf a, angka 14). Berdasarkan pengalaman penulis, belum pernah ada penelitian di Kabupaten Aceh Timur mengenai apa yang umum dilakukan pengawas sekolah selama 3 jam kunjungan ke satuan pendidikan. Apalagi jika kunjungan tersebut dilakukan pada masa-masa awal kita bertugas sebagai pengawas sekolah. Oleh karena itu, pada postingan kali ini saya ingin membagi pengalaman tentang apa yang mungkin dilakukan pengawas dalam waktu kunjungan yang singkat.

Setiap sekolah binaan memiliki kekhasan tersendiri. Misalnya jumlah rombongan belajarnya, letak geografisnya, kultur masyarakatnya, tingkat perekonomian orang tua muridnya, sampai pada keadaan sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah. Bagi sekolah dengan rombongan belajar sedikit, 6 rombel (untuk SD), atau 3 rombel (untuk SMP), tentu dapat dilayani secara maksimal meskipun hanya dengan kunjungan 3 jam di sekolah itu. Tetapi apabila sekolah yang dikunjungi oleh pengawas mempunyai rombel yang besar, 12 rombel atau lebih, tentu kunjungan 3 jam dirasakan sangat kurang. Apalagi kalau 3 jam itu digunakan untuk melaksanakan observasi kelas. Bila observasi dilakukan selama 90 menit (2 jam pelajaran), berarti 3 jam hanya cukup untuk mengobservasi sebanyak 2 guru dalam sekali kunjungan (setiap bulan).

Kita dapat melakukan obsevasi untuk seluruh proses pembelajaran di kelas dalam waktu 3 jam (180 menit). Namun, kita harus membatasi item-item atau data yang diambil selama melakukan observasi. Penulis menamakan observasi itu dengan istilah Mini Observasi. Dalam Mini Observasi, hal-hal yang diamati dan diambil datanya hanya untuk 4 hal, yaitu : 1) Persiapan guru, 2) Metode yang digunakan dalam Pembelajaran, 3) Media yang dipakai, dan 4) Aktivitas siswa. Tentu saja aspek yang diobservasi ini bisa disesuaikan dengan prioritas pengawas sekolah terhadap sekolah binaannya. Dengan hanya mengobservasi 4 aspek ini, penulis pernah menyelesaikan mini observasi ini untuk 14 kelas di sebuah SMP di Kabupaten Aceh Timur pada tahun 2010.

Persiapan Mini Observasi
Persiapan yang harus dilakukan tidak terlalu rumit. Dalam mini observasi, pengawas hanya membutuhkan instrumen pengamatan yang sederhana. Format instrumen pengamatan bisa disesuaikan dengan kebutuhan daerah kabupaten / kota masing-masing. Namun, sebagai contoh pembanding berikut ini saya sertakan format instrumen pengamatan mini observasi yang sering saya gunakan di Kabupaten Aceh Timur.

Contoh Lembar Pengamatan Mini Observasi
Satuan Pendidikan : SMP Negeri 1 Simpang Ulim Kabupaten Aceh Timur
Hari / Tanggal        : Senin / 3 Desember 2012
Ruang Lingkup      : Supervisi Akademik




 





Untuk mengisi skor pengamatan saya biasa menggunakan skala 1 sampai dengan 3. Skala 3 untuk kategori baik, 2 cukup, dan 1 kurang. Pengkategorian ini disekapati dengan guru-guru dan kepala sekolah. Sehingga diperoleh batasan dari skala yang digunakan oleh semua pihak yang terlibat dalam kegiattan mini observasi nantinya.

Pelaksanaan mini observasi
Mini observasi dilakukan dengan jadwal yang jelas. Jadi, sebelum mini observasi ini dilakukan, sebelumnya pengawas dengan warga sekolah di sekolah binaan yang akan diobservasi melakukan pertemuan pendahuluan. Dalam pertemuan tersebut dibahas tentang teknis dan tujuan dari pelaksanaan mini observasi yang akan dilakukan. Sehingga guru yang diobservasi akan menerima kunjungan observer / pengawas dengan senang hati, tidak merasa sedang dimata-matai.
Pada saat pertemuan pendahuluan juga dibahas instrumen yang digunakan. Hal ini untuk melatih guru memberikan performa terbaik pada aspek yang ingin diamati. oleh observer atau pengamat. Setelah segala sesuatunya dianggap telah difahami dan siap untuk dilaksanakan, maka pada pertemuan atau kunjungan berikutnya dilakukanlah mini observasi ini untuk seluruh kelas dan seluruh guru yang hadir pada hari pelaksanaan mini observasi. Contoh hasil pelaksanaan mini observasi dapat dilihat pada ilustrasi di bawah ini:




Analisis data dan pemaparan hasil
Dari ilustrasi lembar pengamatan mini observasi di atas, kita dapat melakukan analisis sederhana minimal untuk dua hal. Pertama, kita mempunya data hasil performa guru hasil mini observasi itu pada kolom nilai. Nilai yang ada pada gambar di atas adalah dalam rentang 1 sampai 10. Jadi kita bisa mengira-ngira guru manakah yang harus diberikan bimbingan atau pembinaan pada pertemuan yang akan datang. Kdua, data tentang rata-rata penapaian guru dalam empat aspek yang diamati. Pada gambar tersebut, skala yang digunakan adalah 1 sampai dengan 3. sehingga kita dapat menentukan aspek apa yang harus ditingkatkan pencapaiannya oleh guru melalui pembinaan yang akan datang.
Hasil analisis sederhana ini selanjtunya disampaikan dalam pertemuan kecil, mungkin sekitar 15 menit, kepada seluruh warga sekolah terutama guru yang diobservasi. Sekaligus juga disampaikan apa agenda kunjungan kepengawasan pada pertemuan berikutnya.

Tindak lanjut
Penting untuk membiasakan melakukan kegiatan dengan tuntas, termasuk pada tindak lanjut mini oobservasi. Bila keempat aspek itu kita padukan dengan siapakah guru yang akan dibimbing, maka pengawas dapat menyusun program kepengawasan minimal untuk 2 atau 3 kali pertemuan. Bila dirasakan sudah selesai, artinya keempat aspek itu sudah memiliki rata-rata pencapaian di atas skala 2, kita bisa mengganti dengan aspek lain pada mini observasi yang akan datang. Begitu juga dengan guru yang dibimbing, bila telah dirasakan cukup dan performanya sudah lebih baik, maka kita bisa membimbing guru yang lain lagi.

Penutup
Inti dari kegiatan mini observasi ini sebenarnya adalah adanya keterbukaan. Pola komunikasi yang baik, tidak satu arah, akan sangat membantu keberhasilan kegiatan ini. Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat menginspirasi rekan-rekan guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah dalam melakukan kegiatan peningkatan kinerja guru dan mutu pendidikan di negeri ini...wassalam

Jumat, 23 November 2012

STRATEGI KEPENGAWASAN

KREASI FORMAT INSTRUMEN KEPENGAWASAN



Sejak siang tadi saya mulai berniat untuk menulis (posting) di blog ini. Sebuah keinginan agar tetap menulis dan konsisten menjaga ritme belajar ngeblog, kontinuitas. Seperti biasa saya mengalami tantangan awal pada "tema apa" yang harus saya tulis, atau tentang materi apa yang bisa dijadikan bahan tulisan. Hingga penghujung tengah malam ternyata bukan postingan yang klar melainkan asyik ngobrol di facebook bersama teman-teman guru aceh timur dan rekan mahasiswa kepengawasan UI.

Hasil diskusi via facebook ternyata menghasilkan beberapa topik yang bagus kalau dituliskan sebagai new enntry postingan kali ini. Dan saya pun mulai membuka sebuah buku karya Kim Marshal (2009) dengan judul "Rethingking Teacher Supervision and Evaluation." Saat membaca chapter two page 27, ada sub judul yang menarik perhatian saya yaitu The Tyranny of Forms. Tanpa membuat waktu saya langsung naikan kalimat itu kedalam status facebook, dan hasilnya luar biasa, banyak kawan yang memberikan respon dan komentar.

Pada sub judul tersebut dituliskan bahwa "Many evaluation instruments are cumbersome and legalistic, making it difficult to give helpful feedback." 
so, should we make our own instruments?? Tanya bu Yekti Hanani, seorang mahasisi Fisip UI kekhususan kebijakan pendidikan. Sebuah pertanyaan yang akhirnya membuka dialog konstruktif tentang strategi kepengawasan.

Teman-teman pengawas mungkin maklum, bahwa tugas kepengawasan sangat akrab sekali dengan format-format instrumen evaluasi yang begitu tebal dan meminta detail data, baik itu data akademik atau manajerial. Sebut saja instrumen EDS, Pemantauan SNP, dan lain-lain. Semua instrumen tersebut disusun oleh instansi di propinsi atau di pusat (Jakarta). Meninlik pada pendapat Marshall, ternyata isntrumen yang menuntut detail data itu terkadang kurang dapat membantu kerja pengawas dalam melakukan pembinaan sehari-hari. Contoh, pada saat kita melakukan observasi kelas, bila kita gunakan insturmen yang disusun oleh Kementrian Pendidian dan Kebudayaan (katakanlah demikian), membutuhkan waktu yang panjang untuk mengisinya, sementara data yang kita butuhkan terkadang yang sebagian kecil dari apa yang ada dalam instrumen.
Menjawab pertanyaan Ibu Yekti tadi, saya pun memberikan jawaban seperti ini "sometime we have to create our own, although based on the legalistic instruments."

Dengan serius Ibu Yekti pun melanjutkan komentarnya "teachers prefer 'use' rather than 'make, jadi, analisis kebutuhan dulu ya pak,, mana yang bisa langsung pake,, mana yang harus bikin sendiri,"

Menanggapi pertanyaan santai tapi mendalam ini saya pun memberikan respon jawaban "the first is planning,..awalnya saya buat rencana, bu. untuk mencapai tujuan dari rencana yang dibuat, saya lakukan assesment, artinya kita butuh data...nah data itu kan kadang tidak perlu detail sekali, seperti form kemarin, itu tidak detail, kenapa? karena saya memang hanya butuh informasi awal tentang gambaran umum kerja pengawas sebelum saya...kalau saya gunakan instrumen formal tentu butuh banyak waktu para guru untuk mengisinya..kesimpulannya mungkin begini, bila data yang kita butuhkan berhubungan dengan proses kerja yang berada di bawah wewenang kita, maka format bisa kita kreasikan sendiri. namun kalau menyangkut pelaporan kepada atasan (dinas, propinsi atau nasional), umumnya mereka memagn sudah memberikan format resmi. terkadang, format yang resmi itu dibuat oleh konseptor ulung di pusat dan bukan oleh pelaku utama di lapangan, akibatnya format-format tersebut seperti kata marshall sulit mendapatkan umpan balik yang kita butuhkan sebagai guru."

Itulah jawaban spontan saat diskusi di facebook. Faktanya saya memang ada membuat format-format sendiri dalam melaksanakan tugas kepengawasan, khususnya di masa-masa awal mulai bertugas sebagai pengawas. Misalnya saat pertama sekali mengunjungi sekolah binaan, saya melakukan assesment sederhana dengan format/instrumen yang saya buat sendiri.  Pada saat assesment tersebut saya hanya mengajukan 5 4 pertanyaan dengan jawaban tertutu dan satu pertanyaan dengan jawaban terbuka. isi pertanyaan isntrumen tersebut adalah:
  
Pada pertanyaan 1 ini saya ingin mengetahui berapa persen warga sekolah mengenal pengawasnya. Hal ini dimaksudkan untuk mendeteksi apakah selama ini pengawas melakukan kunjungan ke sekolah atau hanya ke ruang kepala sekolah. Hasilnya adalah seperti pada data di atas, 42,86% warga sekolah hanya mengenal 1 orang pengawas, padahal sudah lebih dari 5 pengawas yang bertugas sebagai pengawas bina di sekolah binaan yang dilakukan pendataan.
 
Pertanyaan kedua adalah pelaksanaan bimbingan. Saya ingin mengetahui apakah pengawas pernah melakukan bimbingan kepada warga sekolah atau tidak. Datanya dapat dilihat di bawah ini
 
Berdasarkan data tersebut, ada 71,43% warga sekolah binaan yang tidak pernah mendapat bimbingan dari pengawas sebelumnya. Sehingga menjadi tugas saya untuk intens melakukan pembinaan di sekolah tersebut.
 
Walaupun kecil data warga sekolah yang pernah mendapat bimbingan pengawas, saya tetap mengeksplorasi persepsi mereka terhadap pelaksanaan bimgingan dari pengawas tersebut. Hasilnya mengejutkan, ternyata 70% menganggap kegiatan pembinaan yang dilakukan tidak berkesan, atau hanya ada pada kisaran "biasa". Datanya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

 
 
Pola komunikasi antara pengawas dengan sekolah binaan saya duga hanya berlangsung monodialogis top down, artinya pengawaslah yang banyak melakukan instruksi-instruksi kepada sekolah binaan. Padalah, komunikasi yang baik harus berlangsung secara partisipatif dialogis, terbuka, adil, dan mampu menjawab permasalahan warga sekolah binaan. Dari pertanyaan keempat ini ternyata dapat kita ungkap bahwa sebagian besar warga sekolah (utamanya guru) 64,71% tidak pernah meminta bimbingan dari pengawas sekolah.


Karena ini hanyalah asesmen awal, maka saya susun strategi pendataan hanya mencatat fenomena saja, tidak menggali alasan ilmiah mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi jawaban warga sekolah itu. Tapi untuk memberikan ruang beruap saran dan harapan, saya memberikan pertanyaan kelima dengan cara meminta warga sekolah binaan menuliskan harapan-harapannya terhadap saya sebagai pengawas sekolah yang baru. Inventarisasi jawaban warga sekolah dapat dituliskan sebagai berikut:
  1. Waktu kunjungan lebih sering
  2. Memberikan bimbingan
  3. Memberikan masukan-masukan  kepada sekolah
  4. Bisa lebih akrab dengan guru
  5. Pengawas bisa jadi tempat bertanya
  6. Kalau mau supervisi kasih tahu sebelumnya
  7. Pengawas dapat memperlihatkan cara mengajar yang benar
  8. Dapat mengajarkan model-model pembelajaran
  9. Supaya dapat meningkatkan kualitas pendidikan
  10. Penyelesaian ijazah kami yang belum diakui
  11. Bimbingan penggunaan laptop
Demikianlah salah satu format atau instrumen yang saya buat sendiri berdasarkan kebutuhan di lapangan. Selain ini juga masih ada beberapa format yang pernah saya buat sehubungan dengan kebutuhan proses pengawasan di sekolah binaan. Mudah-mudahan pada postingan berikutnya instrumen tersebut bisa saya sajikan juga di blog ini. semoga bermanfaat, dan terima kasih kepada teman-teman facebook yang telah mendorong saya untuk terus menulis..terims...