Minggu, 29 Januari 2017

BELAJAR ADALAH PERUBAHAN



Upacara pagi ini di SMA Negeri Unggul Aceh Timur berlangsung khidmat. Pelaksanaan tepat waktu meskipun ada beberapa siswa yang tidak sempat makan pagi. Kalau tidak makan pagi tentu ada saja siswa yang keluar dari barisan karena tidak cukup stamina. Namun secara umum semua berjalan lancar, tertib dan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.

Pembina upacara hari ini adalah Mrs. Harpilla Disky. Penugasa pembina di sini terjadwal dengan baik, semua guru, baik itu PNS maupun non PNS akan mendapatkan giliran menjadi pembina upacara dan jadwalnya pun disusun sampai semua guru mendapat kesempatan menjadi pembina. Kalau ada yang berhalangan di semester ini, maka bisa dipastikan semester depan akan melaksanakan tugas sebagai pembina.

Ada yang menarik saat penyampaian amanat pembina upacara hari ini. Mrs. Pilla mengurai tentang situasi kekinian yang terjadi diunggul. Mrs. Pilla mengingatkan pada siswa bahwa belajar adalah proses perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak baik menjadi baik, dari yang kurang menjadi lebih. Utamanya pada persoalan etika (moralitas). Siswa di SMA Negeri Unggul adalah orang-orang yang terpilih, manusia unggulan, maka harus memiliki etika yang sesuai dengan predikatnya itu. Tidak layak siswa di sekolah ini melakukan sesuatu yang tidak etis, tidak sesuai dengan standar moralitas negeri ini. Apalagi kalau dikaitkan dengan ahklaqur karimah, tentu lebih tidak sesuai lagi.

Pembina upara yang sangat bersemangat juga menyampaikan sebuah perumpaan cerdas tentang jati diri siswa unggulan. Umpama sebuah botol, akan dihargai sebagaimana isi di dalam botol. dengan kandungan isinya sebagai berikut:

  1. Bila botol kita isi air minum, mungkin harganya hanya Rp. 3000. 
  2. Bila botol diisi dengan jus, harganya bisa Rp. 10.000,
  3. Bila botol diisi dengan madu, mungkin saja harganya lebih dari Rp. 100.000,- dan
  4. Bila botol tersebut diisi dengan parfum (parfume) tentu harganya lebih mahal lagi.
Jadi, isi didalam botol menentukan penghargaan orang terhadap botol. Bila botol tersebut kita isi air comberan, tentu orang akan membuang botol itu dalam tong sampah. Begitulah diri kita. bila diri kita ini kita isi dengan etika yang jelek, bisa jadi orang-orang tidak akan menghargai kita dan akan mungkin saja akan memperlakukan kita seperti sampah. Apakah kalian mau diperlukan seperti itu?, tanya Mrs. Pilla dalam amatannya. Spontan para siswa menjawab "Tidak". 

Oleh karena itu, lanjut Mrs. Pilla, jika ingin dihargai orang lain, jika ingin berguna untuk orang lain, selalulah isi diri kita ini dengan yang baik-baik. Diisi dengan yang baik belum tentu kita berprilaku baik, apalagi kalau isi kepala dan hati ini yang jelek-jelek, tentu lebih rusak lagi.

Saya menedengar apa yang disampaikan oleh salah seorang guru di Sekolah ini. Amanat-amanat yang disampaikan begitu ril, mengena dengan apa yang terjadi di sekolah dan bermanfaat untuk mereka hidup di masa depan. Tinggal lagi apakah para siswa mau menerima semua nasehat para guru ini dengan sebaik-baiknya.

Di akhir amanatnya, Mrs. Pilla mengajar para siswa untuk tidak menyentuh barang yang bukan milik kita. Jagalah milik sendiri dan jangan ganggu kepunyaan orang lain. Kalau kita tidak mengambil milik orang lain, tentu sekolah akan aman. 

Saya senang hari ini, semua berjalan lancar. Cuma gangguan kecil adalah pada audio system, ini menjadi PR untuk senin yang akan datang. Terima kasih untuk guru-guru, para staf TU, siswa-siswa, serta seluruh warga SMA Negeri Unggul yang telah membantu saya mengelola sekolah ini menjadi sekolah yang terbaik.

Salam.

Jumat, 06 Januari 2017

JIKA PENGELOLAAN SMA/SMK KEMBALI KE PROPINSI, SIAPA YANG DIUNTUNGKAN?





(Kepala SMAN Unggul Aceh Timur dan Waketum IGI Pengembangan Regional Sumatera). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah Provinsi dan Daerah Provinsi itu dibagi atas Daerah kabupaten dan kota. Pembagian daerah ini tentu juga diikuti dengan pembagian wewenang dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Urusan pemerintahan berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 terdiri atas urusan pemerintahan absolut, konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Sehubungan dengan judul tulisan ini, maka tulisan akan fokus pada urusan pemerintahan yang kedua saja, yaitu urusan pemerintahan konkuren saja.  Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan daerah kabupaten/kota. Berdasarkan urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah inilah yang menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
Salah satu Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) adalah menyangkut urusan pendidikan. Meskipun belum ada Peraturan Pemerintah yang menjelaskan tentang detail proses pengelolaan SMA / SMK ke Propinsi, nyatanya pelimpahan data P3D (Personil, Peralatan, Pembiayaan, dan Dokumen) terus berjalan. Artinya jika tidak ada perubahan terhadap proses verifikasi dan pelimpahan data P3D dari kabupaten/kota ke Propinsi, pada 1 Januar 2017 semua pengelolaan pendidikan menengah (SMA dan SMK) akan sepenuhnya menjadi wewenang propinsi.
Siapakah yang diuntungkan jika hal ini benar-benar terjadi?
Bicara untung rugi dalam pengelolaan pendidikan ini tentu tidak hanya tertuju pada aspek pengelolaan anggaran, ada hal-hal lain yang mengikuti proses pengalihan wewenang pengelolaan urusan pendidikan menengah ini. Pertama, bila kita tinjau dari sisi pengelolaan anggaran, tentu saja Pemerintah Propinsi akan menerima berkah. Betapa Tidak, anggaran yang selama ini tersebar di kabupaten/kota, akan dipusatkan pengelolaannya di propinsi. Berdasarkan data BPS Aceh, pada tahun 2014 jumlah SMA di Propinsi Aceh sebanyak 373 unit. Bila selama ini anggaran untuk sekolah tersebut dikelola oleh 23 Kabupaten/Kota, maka mulai tahun 2017 pengelolaannya ada di propinsi.
Kedua, dari sisi penjaminan mutu, khususnya pada Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), sekolah akan memiliki kualitas dengan standar yang sama antar kabupaten/kota. Hal ini karena perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi SPMI berlaku sama. Propinsi tentu akan memberikan dukungan yang sama kepada semua sekolah yang sejak 1 Januari 2017 nanti berada di bawah wewenangnya. Kualitas sumberdaya insan pendidikan menengah juga akan bisa ditingkatkan  secara menyeluruh oleh Pemerintah Aceh. Saat masih berada di bawah naungan pemerintah kabupaten/kota, terdapat kesenjangan peningkatan sumberdaya insan pendidikan yang tentu saja disebabkan perbedaan PAD tiap daerah, ke depan semua bisa diminimalisir karena sumber pembiyaan program-program peningkatan sumberdaya insan pendidikan berasal dari kas Pemprop Aceh.
Ketiga, distribusi guru lebih mudah dilakukan. Hal ini disebabkan perpindahan guru berada pada kebijakan gubernur. Guru-guru yang menumpuk di daerah perkotaan seperti Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa, dan kota-kota lainnya, bisa didistribusikan ke kabuapten/kota yang membutuhkan. Pendistribusian guru ini penting dilakukan, karena selain kurang dari sisi jumlah, ada daerah-daerah yang kekurangan dari segi kualifikasi jenis mata pelajaran yang diampu. Apalagi untuk sekolah-sekolah kejuruan yang baru dibangun. Mengapa bisa kekurangan guru? Karena selama ini, kabupaten/kota banyak mendapatkan bantuan Unit Sekolah Baru (USB) tetapi tidak diiringi dengan pengangkatan guru (PNS) baru di sekolah tersebut. Selain itu, sekolah-sekolah tertentu yang memiliki jumlah rombel besar, banyak yang mengalami kekurangan guru. Jika dikelola oleh propinsi, kita berharap bahwa Gubernur melalui Dinas Pendidikan Aceh dapat mengatasi kekurangan guru ini, minimal dengan mengeluarkan SK guru Kontrak Propinsi. Ini penting, karena guru-guru honor murni yang selama ini mengabdi di sekolah-sekolah di kabupaten/kota mendapatkan honor yang jauh dari besaran Upah Minimum. SK Guru Kontrak setidaknya bisa memberikan penghasilan para guru minimal sebesar UMP.
Tentu masih ada keuntungan-keuntungan lain yang bisa kita dapatkan dari proses pengalihan ini. Disamping keuntungan tersebut, ada beberapa hal yang mungkin bisa kita anggap sebagai kerugian. Pertama, kabupaten/kota yang selama ini telah melakukan investasi di SMA akan “kehilangan” asetnya. Artinya ada perpindahan kepemilikan aset dari kabupaten/kota ke propinsi.
Kedua, sekolah yang selama ini mendapatkan bantuan pembiayaan operasional pendamping dari kabuapten/kota – meskipun tidak semua daerah memberikan ini – tentu tidak akan mendapatkannya lagi. Hal ini tidak menjadi persoalan apabila Pemerintah propinsi mau menganggarkan bantuan operasional pendamping dana BOS Pusat. Bila tidak ada anggaran pengganti dari Propinsi, dampaknya adalah pelaksanaan program pendidikan di sekolah akan terganggu. Mudah-mudahan hal ini sudah diantisipasi oleh pemerintah Propinsi. Menjadi terganggu karena ini terjadi di semester genap, sementara semua perencanaan termasuk penggajian guru honorer selama ini dibiaya oleh dana bantuan operasional pendamping dari kabupaten/kota. Bila ini tidak ada, sumber anggaran untuk membayar guru honorer tidak ada. Sebagaimana kita ketahui, dana BOS pusat yang terbatas jumlahnya itu tidak bisa digunakan untuk membayar guru honor murni di sekolah menengah atas.
Ketiga,rantai adminstrasi menjadi panjang. Selama ini semua urusan selesai sampai ibu kota kabupaten/kota, malahan ada urusan yang cukup diselesaikan di tingkat kecamatan, yaitu di UPTD. Bila telah berada di bawah kendali propinsi, tentu semua administrasi sekolah berakhirnya di Ibukota Propinsi. Banyak yang berharap dihidupkan lagi Kantor perwakilan Dinas Pendidikan Propinsi di setiap kabupaten/kota. Wacana ini pernah mencuat saat rakor dengan Kepala Dinas Pendidikan di Banda Aceh, dimana nanti akan ada kantor bidang pendidikan menengah Dinas Pendidkan Aceh yang lokasinya ada di daerah kabupaten/kota. Bisa jadi satu kantor pewakilan itu melayani 2 atau 3 kabupaten/kota sebagaimana posisi PPMG saat ini.

Apapun yang terjadi, semua kita berharap agar pengalihan urusan pendidikan dari kabupaten/kota ke Propinsi dapat menguntungkan kita semua, khususnya insan sekolah di seluruh Aceh. Semoga.

(sudah dimuat di media Citra Aceh)

Kamis, 05 Januari 2017

PELAKSANAAN SEMINAR HASIL PENELITIAN TINDAKAN KELAS DI SEKOLAH




(Kepala Sekolah SMAN Unggul Aceh Timur, Wakil Ketua Ikatan Guru Indonesia/IGI Regional Sumatera). Jabatan dan Pangkat seorang guru idealnya berkorelasi dengan kompetensinya. Guru Pembina tentu akan memiliki kompetensi yang lebih baik dibandingkan dengan Guru Pertama, Guru Muda maupun Guru Madya. Perbedaan kompetensi guru antar jabatan/pangkatnya dimungkinkan antara lain disebabkan adanya perbedaan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan yang telah diikuti oleh guru.

Pelaksanaan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) bagi guru, merupakan sebuah kewajiban sekaligus kebutuhan dalam rangka peningkatan kompetensinya. Pelaksanaan PKB ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Negara  Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permeneg PAN-RB) Nomor 16 Tahun 2009, tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa kenaikan jabatan / pangkat guru ditentukan oleh pencapaian angka kredit yang harus diperoleh guru. Perolehan angka kredit ini diperoleh dari pelaksanaan kegiatan dari unsur utama dan unsur penunjang. Unsur Utama dicapai melalui kegiatan pendidikan (melanjutkan studi untuk pemenuhan kualifikasi tertentu), pembelajaran/ pembimbingan dan tugas tambahan dan/atau tugas lain yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah, dan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB).

Kegiatan PKB ditempuh melalui 3 sub unsur kegiatan yaitu: 1) melaksanakan pengembangan diri, 2) Melaksanakan publikasi ilmiah. Dan 3) Melaksanakan karya inovatif. Pada tulisan kali ini, penulis fokus pada pelaksanaan publikasi ilmiah. Salah satu kegiatan yang bisa dilakukan oleh guru dalam melaksanakan publikasi ilmiah adalah membuat karya tulis berupa laporan hasil penelitian pada bidang pendidikan di sekolahnya, diseminarkan di sekolahnya, disimpan di perpustakaan. Apabila seorang guru membuat laporan, misalnya laporan penelitian tindakan kelas dan diseminarkan serta disimpan di perpustakaan sekolah, maka guru tersebut memperoleh angka kredit untuk kegiatan PKB sebesar 4 (empat) kredit.

Ada guru yang bertanya “apakah boleh kalau laporan PTK yang dibuat oleh guru tidak diseminarkan?” Menurut Koordinator Pengawas Sekolah Dinas Pendidikan Kabupaten Aceh Timur, Bapak Supiono, M.Pd., apabila laporan PTK itu tidak diseminarkan maka angka kreditnya tidaklah 4 (empat), melainkan hanya diberikan kredit sebesar 2 (dua) saja. Artinya, tanpa diseminarkan laporan PTK guru akan berkurang sebesar 50% angka kreditnya. Hal ini tentu akan merugikan guru.

Melaksanakan seminar di sekolah sepintas memang mudah, para peserta bisa berasal dari guru di sekolah, menghadirkan tim penilai, dan ada minimal satu orang pemakalah (guru yang akan memaparkan hasil penelitiannya). Persoalan yang dihadapi adalah dari mana biaya pelaksanaan seminar ini? Persoalan dana memang sering mengemuka dan dijadikan salah satu alasan mengapa sangat sedikit sekolah yang menyelenggarakan kegiatan seminar untuk para gurunya.

Di SMA Negeri Unggul Aceh Timur, kegiatan PKB rutin dilaksanakan hampir setiap bulan. Kegiatan PKB – termasuk seminar PTK – dimasukkan sebagai bagian Gerakan Literasi Sekolah. Dengan masuknya agenda seminar dalam program Gerakan Literasi Sekolah, dapat menanggulangi persoalan biaya. Hal ini disebabkan biayanya bisa menggunakan dana-dana yang ada di sekolah. Kesadaran para guru juga penting untuk dibangun. Para guru telah menyadari betapa pentingnya kegiatan seminar hasil PTK sehingga secara suka rela mau memaparkan Laporan PTK nya dan guru-guru yang lainnya menjadi peserta seminar.


Mencermati begitu pentingnya pelaksanaan seminar dan kaitannya dengan kenaikan pangkat/jabatan guru, seluruh pihak berkepentingan diharapkan memberikan dukungan agar seminar hasil PTK guru dapat terlaksana secara teratur. Pelaksanaan seminar hasil penelitian guru ini pada akhirnya bukan hanya bermanfaat untuk guru, tetapi juga menjadi wahana berbagi pengalaman antar guru, baik guru di satu sekolah maupun dengan guru-guru dari sekolah yang lain. Semoga ke depan para guru tidak lagi canggung mempresentasikan hasil penelitiannya. Semangat berbagi pengalaman diharapkan juga makin terpupuk dan menjadi guru yang makin profesional.

(sudah publish di Media Citra Aceh)

JIKA PENGELOLAAN SMA/SMK KEMBALI KE PROPINSI, SIAPA YANG DIUNTUNGKAN


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah Provinsi dan Daerah Provinsi itu dibagi atas Daerah kabupaten dan kota. Pembagian daerah ini tentu juga diikuti dengan pembagian wewenang dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Urusan pemerintahan berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 terdiri atas urusan pemerintahan absolut, konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Sehubungan dengan judul tulisan ini, maka tulisan akan fokus pada urusan pemerintahan yang kedua saja, yaitu urusan pemerintahan konkuren saja.  Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan daerah kabupaten/kota. Berdasarkan urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah inilah yang menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.
Salah satu Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) adalah menyangkut urusan pendidikan. Meskipun belum ada Peraturan Pemerintah yang menjelaskan tentang detail proses pengelolaan SMA / SMK ke Propinsi, nyatanya pelimpahan data P3D (Personil, Peralatan, Pembiayaan, dan Dokumen) terus berjalan. Artinya jika tidak ada perubahan terhadap proses verifikasi dan pelimpahan data P3D dari kabupaten/kota ke Propinsi, pada 1 Januar 2017 semua pengelolaan pendidikan menengah (SMA dan SMK) akan sepenuhnya menjadi wewenang propinsi.
Siapakah yang diuntungkan jika hal ini benar-benar terjadi?
Bicara untung rugi dalam pengelolaan pendidikan ini tentu tidak hanya tertuju pada aspek pengelolaan anggaran, ada hal-hal lain yang mengikuti proses pengalihan wewenang pengelolaan urusan pendidikan menengah ini. Pertama, bila kita tinjau dari sisi pengelolaan anggaran, tentu saja Pemerintah Propinsi akan menerima berkah. Betapa Tidak, anggaran yang selama ini tersebar di kabupaten/kota, akan dipusatkan pengelolaannya di propinsi. Berdasarkan data BPS Aceh, pada tahun 2014 jumlah SMA di Propinsi Aceh sebanyak 373 unit. Bila selama ini anggaran untuk sekolah tersebut dikelola oleh 23 Kabupaten/Kota, maka mulai tahun 2017 pengelolaannya ada di propinsi.
Kedua, dari sisi penjaminan mutu, khususnya pada Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI), sekolah akan memiliki kualitas dengan standar yang sama antar kabupaten/kota. Hal ini karena perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi SPMI berlaku sama. Propinsi tentu akan memberikan dukungan yang sama kepada semua sekolah yang sejak 1 Januari 2017 nanti berada di bawah wewenangnya. Kualitas sumberdaya insan pendidikan menengah juga akan bisa ditingkatkan  secara menyeluruh oleh Pemerintah Aceh. Saat masih berada di bawah naungan pemerintah kabupaten/kota, terdapat kesenjangan peningkatan sumberdaya insan pendidikan yang tentu saja disebabkan perbedaan PAD tiap daerah, ke depan semua bisa diminimalisir karena sumber pembiyaan program-program peningkatan sumberdaya insan pendidikan berasal dari kas Pemprop Aceh.
Ketiga, distribusi guru lebih mudah dilakukan. Hal ini disebabkan perpindahan guru berada pada kebijakan gubernur. Guru-guru yang menumpuk di daerah perkotaan seperti Banda Aceh, Lhokseumawe, Langsa, dan kota-kota lainnya, bisa didistribusikan ke kabuapten/kota yang membutuhkan. Pendistribusian guru ini penting dilakukan, karena selain kurang dari sisi jumlah, ada daerah-daerah yang kekurangan dari segi kualifikasi jenis mata pelajaran yang diampu. Apalagi untuk sekolah-sekolah kejuruan yang baru dibangun. Mengapa bisa kekurangan guru? Karena selama ini, kabupaten/kota banyak mendapatkan bantuan Unit Sekolah Baru (USB) tetapi tidak diiringi dengan pengangkatan guru (PNS) baru di sekolah tersebut. Selain itu, sekolah-sekolah tertentu yang memiliki jumlah rombel besar, banyak yang mengalami kekurangan guru. Jika dikelola oleh propinsi, kita berharap bahwa Gubernur melalui Dinas Pendidikan Aceh dapat mengatasi kekurangan guru ini, minimal dengan mengeluarkan SK guru Kontrak Propinsi. Ini penting, karena guru-guru honor murni yang selama ini mengabdi di sekolah-sekolah di kabupaten/kota mendapatkan honor yang jauh dari besaran Upah Minimum. SK Guru Kontrak setidaknya bisa memberikan penghasilan para guru minimal sebesar UMP.
Tentu masih ada keuntungan-keuntungan lain yang bisa kita dapatkan dari proses pengalihan ini. Disamping keuntungan tersebut, ada beberapa hal yang mungkin bisa kita anggap sebagai kerugian. Pertama, kabupaten/kota yang selama ini telah melakukan investasi di SMA akan “kehilangan” asetnya. Artinya ada perpindahan kepemilikan aset dari kabupaten/kota ke propinsi.
Kedua, sekolah yang selama ini mendapatkan bantuan pembiayaan operasional pendamping dari kabuapten/kota – meskipun tidak semua daerah memberikan ini – tentu tidak akan mendapatkannya lagi. Hal ini tidak menjadi persoalan apabila Pemerintah propinsi mau menganggarkan bantuan operasional pendamping dana BOS Pusat. Bila tidak ada anggaran pengganti dari Propinsi, dampaknya adalah pelaksanaan program pendidikan di sekolah akan terganggu. Mudah-mudahan hal ini sudah diantisipasi oleh pemerintah Propinsi. Menjadi terganggu karena ini terjadi di semester genap, sementara semua perencanaan termasuk penggajian guru honorer selama ini dibiaya oleh dana bantuan operasional pendamping dari kabupaten/kota. Bila ini tidak ada, sumber anggaran untuk membayar guru honorer tidak ada. Sebagaimana kita ketahui, dana BOS pusat yang terbatas jumlahnya itu tidak bisa digunakan untuk membayar guru honor murni di sekolah menengah atas.
Ketiga,rantai adminstrasi menjadi panjang. Selama ini semua urusan selesai sampai ibu kota kabupaten/kota, malahan ada urusan yang cukup diselesaikan di tingkat kecamatan, yaitu di UPTD. Bila telah berada di bawah kendali propinsi, tentu semua administrasi sekolah berakhirnya di Ibukota Propinsi. Banyak yang berharap dihidupkan lagi Kantor perwakilan Dinas Pendidikan Propinsi di setiap kabupaten/kota. Wacana ini pernah mencuat saat rakor dengan Kepala Dinas Pendidikan di Banda Aceh, dimana nanti akan ada kantor bidang pendidikan menengah Dinas Pendidkan Aceh yang lokasinya ada di daerah kabupaten/kota. Bisa jadi satu kantor pewakilan itu melayani 2 atau 3 kabupaten/kota sebagaimana posisi PPMG saat ini.

Apapun yang terjadi, semua kita berharap agar pengalihan urusan pendidikan dari kabupaten/kota ke Propinsi dapat menguntungkan kita semua, khususnya insan sekolah di seluruh Aceh. Semoga.

(Sudah publish di Media Citra Aceh)

Rabu, 04 Januari 2017

DELAPAN JAM DI SEKOLAH, APA YANG DAPAT DILAKUKAN GURU SMA?


Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Begitu pentingnya tugas profesi ini, maka Pemerintah mengangkat Pegawai Negeri Sipil untuk menduduki jabatan sebagai guru.

Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam melaksanakan tugasnya mempunya kewajiban jam kerja. Jam kerja PNS sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1995, sebanyak 37 jam 30 menit per minggu, baik untuk 5 (lima) hari kerja maupun 6 (enam) hari kerja sesuai dengan penetapan Kepala Daerah Masing-masing.

Selain memiliki kewajiban jam kerja 37 jam 30 menit, guru diwajibkan melakukan pembelajaran tatap muka minimal 24 jam pelajaran (JP) dan maksimal 40 JP per minggu. Inilah yang selama ini sering menjadi diskusi hangat di kalangan guru, wajib hadir ke sekolah 37 jam 30 menit, ataukah cukup 24 jam tatap muka mengajar di kelas.

Jam tatap muka dalam pembelajaran di sekolah, lama waktunya berbeda-beda. Jenjang SMA, 1 JP = 45 menit; SMP = 40 menit; dan SD = 35 menit. Sehingga di SMA, 24 JP dikali 45 menit berjumlah 1080 menit atau sama dengan 18 jam. Artinya, jika hanya memenuhi kewajiban24 jam tatap muka, guru  SMA baru melaksanakan kewajiban jam PNS sebesar 18 jam atau 48% dari jumlah jam wajib per minggu yang ditentukan yaitu 37,5 jam (37 jam, 30 menit).

Kalau hanya 48% pemenuhan jam kerja PNS, apakah guru melanggar jam kerja PNS sebesar 52% tiap minggu?”

Jawabannya belum tentu. Kenapa? Karena tugas guru bukan hanya mengajar. Ada tugas lain yang juga membutuhkan waktu dalam pelaksanaannya, yaitu : membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Selain itu, tugas mengajar merupakan salah satu tahapan dalam pemenuhan standar proses pembelajaran. Sebelum mengajar guru harus mempersiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), membuat Lembar Kerja Pesert Didik, dan unsur-unsur lain yang harus ada dalam melengkapi RPP. Ini semua memerlukan waktu, mungkin saja waktu yang digunakan untuk menyiapkan itu semua lebih dari 52% total jam wajib PNS.

Lalu, bagaimana guru menyikapi wacana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang merencanakan peraturan baru dimana guru wajib berada di sekolah selama 8 jam per hari selama 5 (lima) hari setiap minggunya? Dengan jam kerja 37,5 jam selama 6 hari, rata-rata jam kerja setiap hari adalah 37,5 jam : 6 hari = 6,25 jam (6 jam 15 menit). Jika jam masuk sekolah pukul 08.00 WIB, maka siswa meninggalkan sekolah pada pukul 14.15 WIB. Nyatanya saat ini jarang ada sekolah di Aceh, yang keluar sekolah pada pukul 14.15 WIB.

Bagaimana dengan sekolah yang lama belajarnya adalah 5 hari per minggu. Maka setiap hari jam kerja guru di sekolah adalah 37,5 jam : 5 = 7,5 jam          (7 jam 30 menit). Bila sekolah tersebut memulai jam pertama pada pukul 08.00 WIB, maka pembelajaran akan berakhir pada pukul 15.30 WIB (pukul 3.30 sore hari). Sepertinya tidak ada Kabupaten/Kota di Propinsi Aceh yang memberlakukan 5 hari sekolah per minggu.

Kebijakan 37,5 jam per minggu bagi PNS saja tidak bisa dipenuhi secara maksimal oleh guru, apalagi kalau 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Namun tuntutan profesi guru ini tidak bisa dihindari oleh para pendidik di Sekolah. Oleh karena itu, wacana baru yang dilontarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang keberadaan guru 8 jam di sekolah harus diisi dengan berbagai aktivitas sehingga terjadi peningkatan kualitas para lulusan. Pertama, guru bisa memanfaatkan waktu luang untuk merefleksi kegiatan pembelajaran setiap hari. Hasil refleksi ini diikuti dengan hal-hal antara lain: memperkaya materi dan media pembelajaran, memperbaiki metode, serta memperkaya pembelajaran melalui integrasi antar Kompetensi Dasar atau dengan Kompetensi Dasar Mata pelajaran yang berbeda.

Kedua, waktu bisa dikonversi untuk memeriksa seluruh pekerjaan siswa seteiap hari. Hal ini akan menjamin terciptanya penilaian yang otentik. Hasil pekerjaan siswa bila diperiksa, diberi nilai, dan dievaluasi setiap hari, akan meningkatkan kualitas kinerja guru. Nilai-nilai yang diperoleh siswa menjadi semakin cepat diketahui oleh siswa. Percepatan pengungkapan hasil belajar siswa ini akan mempercepat juga pelaksanaan tindak lanjutnya, yaitu berupa pengayaan bagi siswa yang mendapatkan hasil belajar tuntas, atau pembelajaran remedi bagi siswa yang belum tuntas.

Ketiga, waktu luang adalah anugerah Allah SWT untuk setiap manusia, termasuk bagi para guru. Jika tidak ada yang perlu media/metode yang harus diperbaiki, juga tidak ada masalah mengenai hasil belajar siswa, maka guru bisa mengisi waktu luangnya dengan menghidupkan Gerakan Literasi Sekolah melalui kegiatan membaca dan menulis. Pustaka sekolah akan dipenuhi oleh beragama karya tulis guru sebagai hasil berliterasi produktif.

Keempat, guru semakin memiliki waktu untuk berdiskusi dengan rekan sejawat. Diskusi para pendidik tentu akan melahirkan konsep-konsep atau gagasan-gagasan berupa tawaran solusi terhadap berbagai persoalan yang ada di sekolah.

Setiap kebijakan tentu tidak ada yang sempurna, selalu ada celah kekurangan dan kesalahannya, sangat tergantung bagaimana kita menilainya. Titik pentingnya adalah marilah kita konversi waktu luang kita menjadi sesuatu yang berguna khususnya dalam memajukan dunia pendidikan di tanah Aceh.

(sudah publish di Media Citra Aceh)