Jumat, 15 Februari 2013

CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING

TAHAPAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL


Pembelajaran kontekstual (CTL/Contextual Teaching and Learning) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehiudpan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Sanjaya 2005 dalam Sa'ud 2010).

Terdapat lima ciri khas yang penting dalam menggunakan proses pembelajaran kontekstual, yaitu:
  1. Pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada, artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari. Ada keterkaitan antara materi kemarin, hari ini, dan yang akan dipelajari esok.
  2. Pembelajaran untuk menambah pengetahuan baru, proses pembelajaran dilakukan secara deduktif, yaitu mempelajari secara keseluruhan lalu baru memperhatikan detailnya.
  3. Pengetahuan yang didapat bukan untuk dihafal tetapi  untuk difahami dan diyakini.
  4. Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman yang didapat pada langkah 1.
  5. Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan.
Dalam pembelajaran konekstual, tiga prinsip utama yang sering digunakan adalah:
  1. saling ketergantungan (interdependence),
  2. deferensiasi (differentiation),
  3. pengorganisasian (self organization),
Sementara itu ada tujuh asas atau komponen pembelajaran kontekstual, yaitu:
  1. kontruktivisme,
  2. inkuiri,
  3. bertanya,
  4. masyarakat belajar,
  5. pemodelan
  6. refleksi
  7. penilaian nyata
Tahapan model pembeajaran kontekstual meliputi empat tahapan, 
Tahap pertama adalah Invitasi. pada tahap ini, siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan dibahas.
Tahap kedua adalah "eksplorasi". Memberikan kesempatan pada siswa untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, penginterpretasian data dalam sebuah kegiatan yang dirancang guru.
Tahap ketiga adalah "penjelasan dan solusi". Dimana pada tahap ini siswa memberikan penjelasan-penjelasan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan penguatan dari guru. Sehingga siswa dapat menyampaikan gagasan, membuat model, membuatan rangkuman dan ringkasan.
Tahap keempat "pengambilan tindakan". Pada tahap terakhir ini, siswa dapat membuat keputusan, menggunakan pengetahuan dan ketrampilan, berbagai informasi dan gagasan, mengajukan pertanyaan lanjutan, mengajukan saran baik secara individu maupun kelompok yang berhubungan dengan pemecahan masalah.

(disarikan dari buku "Inovasi Pendidikan", karya Udin Syaefudin Sa'ud, Ph.D.)



Senin, 04 Februari 2013

BEASISWA ACEH

KISRUH BEASISWA ACEH 


Kisruh  pelaksanaan pemberian beasiswa Aceh menemukan bentuk seramnya. Terutama bagi para mahasiswa penerima beasiswa yang masih melaksanakan kuliah di dalam dan luar negeri menggunakan dana beassiwa Provinsi Aceh itu. Dapat dipastikan nasib mereka akan diliputi ketidakpastian pembiayaan setelah Pemerintah Aceh mengesahkan APBA 2013 tetapi membekukan pemberian beasiswa Aceh tahun 2013 ini.  Ada juga 135 peserta calon penerima beasiswa yang telah dinyatakan lulus pada seleksi tahun lalu terpaksa harus merelakan bayangan kuliah pasca sarjana di luar negeri karena bekunya dana beasiswa aceh tahun2013.
Ibarat sebuah pepatah "gajah berkelahi semut yang mati." Meskipun tidak terlalu tepat seluruhnya penggambaran pepatah tersebut, tetapi kira-kira itulah yang terjadi terhadap beasiswa Aceh yang dulu dikelola oleh Lembaga Peningkatan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Aceh. Alasan pak gubernur ingin membenahi manajemen pengelolaan beasiswa terlebih dahulu, sehingga beasiswa Aceh dibekukan untuk sementara waktu, kalau sudah beres baru dicairkan lagi.
Dalam menempuh pendidikan, biasanya punishment akan diterima oleh mahasiswa yang tidak mampu memenuhi batas standar minimal capaian studinya. IPK yang rendah, atau tidak menghadiri perkuliahan secara benar, jarang hadir ke kampus, dll. Jika ada faktor itu, tentu wajar mahasiswa tersebut diskors atau di DO pihak kampus. Tetapi pada kasus pembekuan beasiswa Aceh ini penyebabnya adalah manajemen yang berprilaku tidak profesional. Ada persoalan akuntabilitas, kebermanfaatan program, sistem informasi lulusan yang tidak rapi, serta banyak persoalan lain yang dilakukan manajemen tetapi "dosanya" harus ditanggung oleh para mahasiswa dan calon mahasiswa penerima beasiswa Aceh.
Sangat paradoks fenomena ini dengan kenyataan yang ada. Betapa Universitas Malahayati yang berada di Bandar Lampung menawarkan beasiswa kepada siswa-siswi terbaik Aceh untuk penerimaan mahasiswa tahun 2013. Mereka yang diujung selatan sumatera saja faham bahwa Aceh butuh bantuan. Karena secara ekonomi memang belumlah berlaku normal. Setelah sekian lama konflik mendera dan disusul oleh bencana Gempa dan Tsunami Aceh, pendapatan perkapita masyarakat Aceh belumlah sebaik tetangganya, Sumatera Utara. Rakyat Aceh yang baru saja terbebas dari konflik dan telah menyadari pentingnya pendidikan untuk kehidupan yang lebih baik kini memang sedang berburu dana-dana beasiswa, baik dalam dan luar negeri, agar bisa melanjutkan ke perguruan Tinggi. Itulah peluang terbaik bagi mereka agar dapat meningkatkan kualifikasi akademiknya.
Tawaran beasiswa juga datang dari Univeristas Abulyatama Banda Aceh. Perguruan yang seharusnya dibantu, karena dari namanya saja kita tahu kampus ini diperuntukkan bagi mahasiswa yang telah menjadi yatim, namun malah memberikan beasiswa untuk calon mahasiswanya. Mengapa justeru "pelayan rakyat", yang dipilih secara mayoritas pada Pilkada kemarin, membekukan dana beasiswa dengan alasan manajemen atau pengelolaannya harus diaudit terlebih dahulu.
Benar, memang kita butuh pengelolaan yang baik dalam kasus beasiswa Aceh, supaya uang rakyat yang disalurkan dalam bentuk beasiswa ini bisa tepat sasaran, bermanfaat bagi rakyat secara luas. Tetapi pembenahan sistem pengelolaan janganlah sampai mengorbankan stakeholders beasiswa itu sendiri yang seluruhnya adalah warga Aceh. Mereka yang telah bersabar bertahan di dalam prahara griliya konflik politik RI-GAM dengan berbagai konsekuensi hidup di daerah konflik masa lalu. Mereka juga yang telah memberikan "hati" nya kepada Pemerintah Aceh saat ini secara mayoritas. Dengan harapan tentunya ada keberpihakan kepada mereka atas dasar kejujuran dan keikhlasan sesama warga Aceh. Semoga angin segar kembali berhembus, agar penat persoalan yang muncul dari kasus pembekuan dana beasiswa Aceh ini bisa berlalu





Minggu, 03 Februari 2013

JAMINAN MUTU PENDIDIKAN ACEH

SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN?



Anggota DPR RI Asal Aceh, Raihan Iskandar  mengatakan, mutu pendidikan di Aceh saat ini masih sangat rendah. Bahkan kini Provinsi Aceh berada pada peringkat ke 16 se-Indonesia. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Ir Hamdani, dari Bappeda Aceh, beliau mengatakan dalam sebuah acara rapat koordinasi Tim Koordinasi Pembangunan Pendidikan Aceh (TKPPA) dengan Gubernur Aceh, DPRA, MPD, Disdik, perguruan tinggi, dan sejumlah NGO pendidikan di Pendapa Gubernur Aceh tanggal 16 Oktober 2012, menurut beliau mutu pendidikan di Aceh masih sangat rendah. Pendapatnya ini berdasarkan Hasil uji kompetensi guru tingkat nasional, dimana Kualitas guru dari Aceh berada pada peringkat 28 nasional dari 33 provinsi. Sementara kemampuan lulusan SMA/SMK/MA yang bisa menembus perguruan tinggi negeri berada di peringkat 31 nasional untuk jurusan IPA dan peringkat 25 untuk jurusan IPS.

Data yang berbeda namun lebih ekstrim lagi disampaikan oleh Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unsyiah, Profesor Yusuf Azis, mengatakan uji kompentensi guru tingkat nasional masih menuai hasil yang memilukan bagi Aceh. Dimana, daerah Aceh menduduki peringkat 32 dari 33 provinsi yang ada di nusantara saat ini. Atau dengan kata lain posisi Aceh itu urutan kedua terendah se Indonesia.

Jika kita mau menelusuri lebih luas, kemungkinan akan menemukan data-data lain tentang begitu terpuruknya pendidikan di Aceh dalam hal kualitas.Mengapa kualitas Pendidikan Aceh saat ini begitu rendah, padahal kita tidak sedang berkonflik seperti dulu. Penyebab utama rendahnya pendidikan Aceh juga bukan dikarenakan ketiadaan anggaran, karena anggaran Otonomi Khusus untuk Aceh dipastikan cukup untuk menjalankan sebuah sistem pendidikan berkualitas. Di antara begitu banyak kemungkinan jawaban, ternyata guru di aceh adalah yang dianggap paling bermasalah.

Guru dituding sebagai penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Aceh. Apalagi guru yang diterima sebagai PNS di Aceh saat ini bukanlah yang terbaik, Kata Prof. Yusuf Azis Dekan FKIP Unsyiah. Unsyiah hanya menyumbang 40% guru PNS di Aceh. 60 persen berasal dari universitas swasta dan kelas jauh di berbagai kabupaten kota. Inilah yang jadi persoalan pendidikan Aceh hari ini,” ujar dia. Tetapi untuk apa kita mencari siapa yang salah. Tindakan terbaik semestinya adalah bagaimana upaya kita meningkatkan kualitas pendidikan di Aceh. Citra buruk ini tidak boleh lekat lebih lama lagi karena sejatinya kita pasti dapat memperbaiki keadaan ini.

Pelatihan bagi guru
Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Anas M. Adam, mengatakan ada tiga kelompok yang harus di perbaiki untuk bisa meningkatkan mutu pendidikan Aceh, yakni pengawas, kepala sekolah dan guru. Tiga kelompok tersebut menjadi salah satu prioritas Dinas Pendidikan Aceh tahun 2013 dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan Aceh agar bisa bersaing secara nasional dan internasional. Salah satu cara yang akan dilakukannya untuk meningkatkan mutu pendidikan Aceh dengan mengadakan pelatihan untuk peningkatan kemampuan guru. Pelatihan tersebut akan dilaksanakan secara beranting. “Karena itu, kita menghidupkan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), sebab bila kita panggil 110 ribu orang guru ke Banda Aceh untuk mengikuti pelatihan atau penataran akan membutuhkan waktu sangat lama,” papar Anas.

Apa yang disampaikan oleh Kepala Dinas Pendidikan Aceh itu ada benarnya. Namun, pelatihan-pelatihan itu tepat dilakukan untuk jangka pendek sebagai langkah merespon data rendahnya kualitas guru di Aceh ataupun untuk meng upgrade kompetensi guru. Untuk jangka menengah dan jangka panjang, perlu ada standarisasi kualitas Perguruan Tinggi di Aceh, sehingga tidak ada tudingan bahwa kualitas guru ini disebakan karena kualitas lembaga pencetak guru memang rendah. 

Penjaminan Mutu Pendidikan 
Yang kita butuhkan saat ini bukan hanya sekedar upaya fragmatis peningkatan kualitas pendidikan (guru) melalui pelatihan. Sudah saatnya Aceh memiliki dan menerapkan sistem penjaminan mutu pendidikan  (quality assurance). Penjaminan mutu pendidikan telah diperintahkan penerapannya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Pasal 91, ayat (1), (2) dan (3) PP tersebut menyatakan:
  1. Setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan.
  2. Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan.Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.
  3. Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.
Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Harus berimbang. Hasil memang penting kita perhatikan, sebab sebuah proses itu bisa dilihat dari hasil yang didapat, sebagaimana yang telah dipaparkan di awal tulisan ini. Namun, mestinya proses pendidikan adalah hal yang lebih diperhatikan lagi dengan seksama, pada proses inilah ditentukan apa hasil yang akan didapat dalam kurun waktu tertentu, 1 tahunan, 5 tahunan, bahkan 10 tahunan. 

Fokus pada peningkatan kualitas guru di sekolah memang perlu dilakukan dengan segera. Sesuai dengan hasil Uji Kompetensi Awal Guru. Tentu perlu ada kajian ilmiah mengapa guru di Aceh memiliki kompetensi yang demikian rendah. Jangan lupa juga untuk meningkatkan kualitas kinerja kepala sekolah. Karena salah satu aktor penentu kualitas sebuah proses pendidikan di sekolah adalah kepala sekolah. Kepala sekolah harus benar-benar menjadi jabatan dalam menunjang pencapaian kualitas terbaik. Hal ini telah dirasakan oleh Wakil Gubernur Aceh Muzakkir Manaf, saat membuka Rapat Konsolidasi dan Koordinasi Dinas Pendidikan Aceh, di Hermes Palace Hotel.  Jum’at (04/01/2013), kata beliau “Guru/Kepala Sekolah jangan mengurus pembangunan Fisik, urusan semen biar diurus oleh  dinas terkait, tugas guru adalah memberikan ilmu agar  mutu pendidikan di Aceh tidak berada pada peringkat bawah jauh ketinggalan dengan provinsi lain".

Belum berjalannya sistem penjaminan mutu pendidikan dengan baik di Aceh selama ini, sebagaimana telah diatur dalam Permendiknas RI No. 63 Tahun 2009 Tentang SPMP, menjadi salah satu faktor kunci rendahnya kualitas pendidikan di Aceh. Bila sistem penjaminan mutu sudah berjalan dengan baik, maka tidak akan ada guru yang memiliki kompetensi rendah. Mengapa? karena setiap guru yang berkompetensi rendah akan terdeteksi dari awal oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah. Hasil pendeteksian itu tentu sekolah bersama pengawas sekolah akan membuat program kerja pembinaan sekolah agar terjadi peningkatan kompetensi guru. Namun lagi-lagi kita mendapati bahwa ternyata tidak sedikit kualitas kepala sekolah dan bahkan pengawas sekolah (berdasarkan hasil uji kompetensi awal/UKA) lebih rendah dari kualitas gurunya. Contoh sederhana saja dalam budaya menulis, banyak guru yang sudah mampu membuat tulisan di berbagai media, baik di Blog pribadi maupuan di media lain, tetapi pengawas masih terlalu sedikit yang mampu melakukannya. Belum lagi kita bicara tentang penguasaan teknologi informasi secara leibh luas.

Jangan terulang kedua kali pada kesalahan yang sama, yaitu guru baru diberikan pelatihan untuk meningkatkan kompetensinya, sementara itu pengawas terabaikan. Semestinya pengawas juga harus menjadi fokus perhatian, sebab sebagai ujung tombak penjaminan mutu pendidikan pengawas harus memiliki kompetensi yang tinggi dan luas agar dapat membina guru, kepala sekolah, tenaga admininistrasi dan bahkan kelembagaan sekolah itu sendiri. Kita tunggu aksi Pemerintah Aceh memberdayakan pengawasnya. Semoga sukses.