Rabu, 26 September 2012

MENDORONG GURU MAU MENULIS

ENAM PENDEKATAN BUDAYA MENULIS


Andai saja di kampung tempat tinggal saya guru-guru mau dan mampu menulis tentang apa yang akan, sedang, dan telah ia lakukan, tentu banyak kejahatan yang bisa dicegah. Hipotesis yang perlu dibuktikan dengan menggunakan metode koprehensif semisal Soft System Methodology-Based Action Research, atau menggunakan System Dynamics, barangkali. 

Jika teman-teman ku yang berprofesi sebagai gemar dan punya kegilaan berdiskusi secara konstruktif tentang pendidikan, rasanya jelas akan banyak sekali masalah di sekolah yang bisa diatasi sebelum menjadi bencana yang bisa membodohkan pikiran.

Penulis mengobservasi budidaya tanaman alfafa-Jonggol Farm Bogor
Umpamanya, para pembesar-pembesar di kantor dinas pendidikan, kantor bupati, dan kantor gubernur, punya kompetensi yang memadai untuk mengelola pendidikan serta beakhlaqul karimah, yakin saya "tidak akan ada anak putus sekolah", "sedikit siswa yang bolos sekolah hanya untuk mencari nafkah", juga akan jarang sekali "guru yang meninggalkan kelas tanpa tugas dan tanpa berita, menghilang dari peredaran begitu saja. 

Pengharapan sederhana yang muncul spontan ketika saya hendak memulai tulisan ini. Selalu banyak berita, di media massa maupun secara lisan dari berbagai sumber, saya menangkap satu persoalan dalam dunia pendidikan Indonesia yang seolah-olah hitam pekat tak bisa diselesaikan yaitu "Guru Malas Menulis." Dari persoalan itu ada dugaan-dugaan subyekif dari berbagai kalangan tentang penyebab "mengapa guru malas menulis." Sementara itu, tawaran penyelesaian persoalan itu justru berbanding terbalik dengan situasi permasalahan yang ada, atau jangan-jangan ada yang senang dengan kondisi guru kita yang begini ini, sehingga tidak banyak penyimpangan diketahui umum, ataupun tidak akan banyak orang yang tahu ide-ide kreatif guru yang dtulis di media massa yang dianggap bisa menurunkan wibawa pemerintah atau tokoh tertentu. Hahaha, bisa jadi sangat provokatif tulisan ini kalaulah itu kita bahas.

Bagaimana membuat guru kita memiliki budaya menulis

Pembaca yang terhormat, tentu masalah yang ada pada guru itu akan berat diselesaikan bila guru dibiarkan sendirian menyelesaikannya. Semua persoalan yang memang disebabkan oleh sistem di negara kita ini, tidak elok rasanya bila dia dihibahkan pada guru semua. Janganlah hanya karena satu kali gaji pokok -- baru diterima dua atau tiga tahun -- lalu guru bisa dijadikan terdakwa tunggal atas tudingan tidak memiliki kemampuan menulis sebagai syarat menjadi guru profesional. Kemana Kepala Sekolah sebagai atasan guru saat guru punya masalah "tidak bisa membuat tulisan?" Juga, dimana para pengawas waktu guru mencari figur tempat meminta saran dan pembinaan untuk mencapai keprofesionalannya? Kalau terus-terusan dipertanyakan, yang ada kita bisa tawuran di sekolah, tawuran antara MGMP melawan MKKS plus MKPS. Dahsyat!

Saiful, S.Pd. Kasek SMAN 1 Idi Aceh Timur Memimpin Rapat
Penyusunan Program Kepengawasan Sekolah
Ada beberapa cara yang sudah harus mulai kita lakukan untuk memperbaiki kemampuan guru dalam menulis. Supaya terjadi perubahan yang cepat, sebaiknya guru jangan lagi diajari menulis saja, tetapi yang lebih tepatnya kita harus mendukung guru untuk memiliki budaya meneliti. Alasannya sederhana, dengan meneliti maka guru akan melakukan hal-hal yang sangat edukatif, antara lain:
  1. Gemar membaca, 
  2. Rajin menulis, 
  3. Mampu mengidentifikasi masalah
  4. Dapat mengambil data di lapangan, kelas dan sekolah.
  5. Bisa melakukan pengolahan data
  6. Terbiasa menarik kesimpulan, baik secara induktif, deduktif ataupun deskriptif kulatitaf.
  7. Makin senang melakukan diskusi yang pada akhirnya mau menghargai orang lain yang seprofesi ataupun bukan.

Lima 5 kegiatan atau pendekatan yang bisa dilakukan oleh Pengawas Sekolah, Guru, dan Dosen, Bila ingin mendukung guru supaya memiliki budaya menulis.
  1. Peer coaching
  2. Informal Collaborative Action Research
  3. Formal Collaborative Action Research
  4. New Teacher Classes
  5. Professional Development Schools
  6. University Requirements
Enam pendekatan itu saya temukan saat mengerjakan tugas dari kampus, yaitu menerjemahkan jurnal yang ditulis oleh Ricahar Sagor pada bab 14 dengan judul "Inducting Teachers into a Culture of Inquiry. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Peer coaching (PC)
Peer coaching ini adalah sama dengan mentoring, pendampingan oleh rekan sejawat. Bagi guru pemula yang baru diangkat sebagai Guru (PNS) hendaknya wajib diberikan peer coaching atau mentoring. Sebuah pendampingan yang diperlukan agar guru dapat memulai profesinya dengan baik. Yang menjadi mentor dari PC ini adalah guru senior yang ditunjuk oleh sekolah. Para mentor inilah yang akan memberikan pengalamannya kepada guru pemula. 
Collaboratif Supervision, Mukhlis, S.Pd., Supiono, M.Pd. (baju hitam)
dan Nurdin, S.Pd. (mengambil gambar) di SMPN 4 Birem Bayeun
(Alm. Kepala SMPN 4 Birem Bayeun-Baju PDH PNS)
Pada kegiatan ini, guru pemula akan diajari beberapa hal, antara lain:
  • membuat perencanaan pembelajaran, 
  • melaksanakan pembelajaran, 
  • melakukan pengamatan, 
  • mengambil data, 
  • menganalisis dan menginterpretasi data, 
  • menulis laporan kegiatan di sekolah. 
Bila tahap ini dilakukan, guru pemula akan terbiasa melakukan kegiatan ilmiah sesuai dengan profesinya. Bagi guru dewasa atau guru pembina yang menjadi mentor atau tutor pun akan tetap memiliki ketajaman dalam meneliti dan membuat tulisan. Hal ini dikarenakan mentor juga harus melakukan penelitian atas kinerja guru yang didampingi, serta menulis laporannya kepada kepala sekolah. Kurang lebih begitu penjelasannya.

2. Informal Collaboratif Action Research
Kalau kita terjemahkan, arti dari kegiatan 2 ini kurang lebih "Penelitian tindakan kolaborasi informal". Penelitian tindakan ini dilakukan secara kolaboratif yaitu antara guru pemula dengan guru senior yang memiliki kinerja rendah. Nah, apabila kedua guru ini berkolaborasi dalam sebuah penelitiant tindakan. Untuk pendekatan ini kita memerlukan program dengan kesulitan yang rendah tetapi memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi.

3. Formal Collaboratif Action Research
Penelitian tindakan kolaboratif formal tidak berbeda dengan penelitian tindakan kolaboratif informal. hanya saja topic penelitian pada penelitian ini ditentukan berdasarkan hasil refeksi oleh tim peneliti. Berbeda dengan di Aceh Timur, umumnya PTK dilakukan secara perseorangan, sehingga bisa saja karya tulisnya (laporan PTK) itu dibeli dari orang yang terbiasa melakukan plagiasi.

4. New teacher classes
Guru kelas baru menjadi perhatian penting bagi kepala sekolah. Oleh karena itu, di setiap sekolah di Michigan AS, setiap awal ajaran baru, Kepala Sekolah menyelenggarakan sebuah seminar. Pada seminar ini kepala sekolah akan memaparkan beberapa hal, antara lain:
  • Teknik-teknik pengambilan data di kelas
  • Menyampaikan jadwal kunjungan kelas antar guru
  • Melakukan kajian / review literatur, jika guru membutuhkannya
  • Sharing pengalamannya selama bertugas.

5. Professional Development School
Pendekatan yang kelima ini adalah membangun kemitraan antara sekolah dengan perguruan tinggi. Hal ini dilakukan untuk mengembangkan kemampuan pembelajaran guru dan juga untuk membantu menyiapkan kemampuan calon guru. Jadi, Perguruan Tinggi membentuk semacam Medical Centre yang akan melayani pasien. Tentu saja pasien dari sekolah akan berobat tentang penyakit-penyakit dalam pembelajaran di kelas.

6. University Requirements
Untuk peningkatan kualitasnya, sebuah universitas pendidikan yang membuka program Master Kependikan, mewajibkan calon mahasiswa yang melamar ke Perguruan Tinggi melengkapi berkas untuk memenuhi persyaratan masuk ke universitas. Berkas yang diminta diantaranya adalah wajib menyelesaikan pelaksanaan penelitian tindakan kolaboratif di sekolah. Penelitian pertama adalah penelitian tindakan kolaboratif informal, sedangkan yang kedua adalah penelitian tindakan kolaboratif secara penuh, menggunakan sumber data yang banyak dan menyajikan sebuah kajian literatur.

Itulah 6 pendekatan yang dapat dilakukan untuk membantu guru memiliki budaya meneliti. Saatnya bagi pengawas untuk membekali diri agar kompetensinya dapat mendukung pelaksanaan 6 pendekatan tersebut. 
Selamat belajar, semoga kita bisa melakukan sumbangsih bagi perbaikan kualitas pendidikan kita melalui kerja-kerja pendidikan sampai akhir hayat. Semoga bermanfaat.

Wassalam.









2 komentar: