SISTEM PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN?
Anggota DPR RI Asal Aceh, Raihan Iskandar mengatakan, mutu pendidikan di Aceh saat ini masih sangat rendah. Bahkan kini Provinsi Aceh berada pada peringkat ke 16 se-Indonesia. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Ir Hamdani, dari Bappeda Aceh, beliau mengatakan dalam sebuah acara rapat koordinasi Tim Koordinasi Pembangunan Pendidikan Aceh
(TKPPA) dengan Gubernur Aceh, DPRA, MPD, Disdik, perguruan tinggi, dan
sejumlah NGO pendidikan di Pendapa Gubernur Aceh tanggal 16 Oktober 2012, menurut beliau mutu pendidikan di Aceh masih sangat rendah. Pendapatnya ini berdasarkan Hasil uji kompetensi guru
tingkat nasional, dimana Kualitas guru dari Aceh berada pada peringkat 28
nasional dari 33 provinsi. Sementara kemampuan lulusan SMA/SMK/MA yang
bisa menembus perguruan tinggi negeri berada di peringkat 31 nasional
untuk jurusan IPA dan peringkat 25 untuk jurusan IPS.
Data yang berbeda namun lebih ekstrim lagi disampaikan oleh Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unsyiah, Profesor Yusuf Azis, mengatakan uji kompentensi guru tingkat nasional masih menuai hasil
yang memilukan bagi Aceh. Dimana, daerah Aceh menduduki peringkat 32 dari 33 provinsi yang ada di nusantara saat ini. Atau dengan kata lain posisi Aceh itu urutan kedua terendah se Indonesia.
Jika kita mau menelusuri lebih luas, kemungkinan akan menemukan data-data lain tentang begitu terpuruknya pendidikan di Aceh dalam hal kualitas.Mengapa kualitas Pendidikan Aceh saat ini begitu rendah, padahal kita tidak sedang berkonflik seperti dulu. Penyebab utama rendahnya pendidikan Aceh juga bukan dikarenakan ketiadaan anggaran, karena anggaran Otonomi Khusus untuk Aceh dipastikan cukup untuk menjalankan sebuah sistem pendidikan berkualitas. Di antara begitu banyak kemungkinan jawaban, ternyata guru di aceh adalah yang dianggap paling bermasalah.
Guru dituding sebagai penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Aceh. Apalagi guru yang diterima sebagai PNS di Aceh saat ini bukanlah yang terbaik, Kata Prof. Yusuf Azis Dekan FKIP Unsyiah. Unsyiah hanya menyumbang 40% guru PNS di Aceh. 60 persen berasal dari universitas swasta dan kelas jauh di berbagai
kabupaten kota. Inilah yang jadi persoalan pendidikan Aceh hari ini,”
ujar dia. Tetapi untuk apa kita mencari siapa yang salah. Tindakan terbaik semestinya adalah bagaimana upaya kita meningkatkan kualitas pendidikan di Aceh. Citra buruk ini tidak boleh lekat lebih lama lagi karena sejatinya kita pasti dapat memperbaiki keadaan ini.
Pelatihan bagi guru
Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Anas M. Adam, mengatakan ada tiga kelompok yang harus di perbaiki untuk bisa
meningkatkan mutu pendidikan Aceh, yakni pengawas, kepala sekolah dan
guru. Tiga kelompok tersebut menjadi salah satu prioritas Dinas
Pendidikan Aceh tahun 2013 dalam upaya meningkatkan mutu
pendidikan Aceh agar bisa bersaing secara nasional dan internasional. Salah satu cara yang akan dilakukannya untuk
meningkatkan mutu pendidikan Aceh dengan mengadakan pelatihan untuk
peningkatan kemampuan guru. Pelatihan tersebut akan dilaksanakan secara
beranting. “Karena itu, kita menghidupkan Musyawarah Guru Mata
Pelajaran (MGMP), sebab bila kita panggil 110 ribu orang
guru ke Banda Aceh untuk mengikuti pelatihan atau penataran akan
membutuhkan waktu sangat lama,” papar Anas.
Apa yang disampaikan oleh Kepala Dinas Pendidikan Aceh itu ada benarnya. Namun, pelatihan-pelatihan itu tepat dilakukan untuk jangka pendek sebagai langkah merespon data rendahnya kualitas guru di Aceh ataupun untuk meng upgrade kompetensi guru. Untuk jangka menengah dan jangka panjang, perlu ada standarisasi kualitas Perguruan Tinggi di Aceh, sehingga tidak ada tudingan bahwa kualitas guru ini disebakan karena kualitas lembaga pencetak guru memang rendah.
Penjaminan Mutu Pendidikan
Yang kita butuhkan saat ini bukan hanya sekedar upaya fragmatis peningkatan kualitas pendidikan (guru) melalui pelatihan. Sudah saatnya Aceh memiliki dan menerapkan sistem penjaminan mutu pendidikan (quality assurance). Penjaminan mutu pendidikan telah diperintahkan penerapannya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Pasal 91, ayat (1), (2) dan (3) PP tersebut menyatakan:
- Setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan.
- Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan.Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.
- Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.
Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Harus berimbang. Hasil memang penting kita perhatikan, sebab sebuah proses itu bisa dilihat dari hasil yang didapat, sebagaimana yang telah dipaparkan di awal tulisan ini. Namun, mestinya proses pendidikan adalah hal yang lebih diperhatikan lagi dengan seksama, pada proses inilah ditentukan apa hasil yang akan didapat dalam kurun waktu tertentu, 1 tahunan, 5 tahunan, bahkan 10 tahunan.
Fokus pada peningkatan kualitas guru di sekolah memang perlu dilakukan dengan segera. Sesuai dengan hasil Uji Kompetensi Awal Guru. Tentu perlu ada kajian ilmiah mengapa guru di Aceh memiliki kompetensi yang demikian rendah. Jangan lupa juga untuk meningkatkan kualitas kinerja kepala sekolah. Karena salah satu aktor penentu kualitas sebuah proses pendidikan di sekolah adalah kepala sekolah. Kepala sekolah harus benar-benar menjadi jabatan dalam menunjang pencapaian kualitas terbaik. Hal ini telah dirasakan oleh Wakil Gubernur Aceh Muzakkir Manaf, saat membuka Rapat Konsolidasi dan Koordinasi Dinas Pendidikan Aceh, di Hermes
Palace Hotel. Jum’at (04/01/2013), kata beliau “Guru/Kepala Sekolah jangan mengurus pembangunan Fisik, urusan semen biar diurus oleh
dinas terkait, tugas guru adalah memberikan ilmu agar mutu pendidikan
di Aceh tidak berada pada peringkat bawah jauh ketinggalan dengan
provinsi lain".
Belum berjalannya sistem penjaminan mutu pendidikan dengan baik di Aceh selama ini, sebagaimana telah diatur dalam Permendiknas RI No. 63 Tahun 2009 Tentang SPMP, menjadi salah satu faktor kunci rendahnya kualitas pendidikan di Aceh. Bila sistem penjaminan mutu sudah berjalan dengan baik, maka tidak akan ada guru yang memiliki kompetensi rendah. Mengapa? karena setiap guru yang berkompetensi rendah akan terdeteksi dari awal oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah. Hasil pendeteksian itu tentu sekolah bersama pengawas sekolah akan membuat program kerja pembinaan sekolah agar terjadi peningkatan kompetensi guru. Namun lagi-lagi kita mendapati bahwa ternyata tidak sedikit kualitas kepala sekolah dan bahkan pengawas sekolah (berdasarkan hasil uji kompetensi awal/UKA) lebih rendah dari kualitas gurunya. Contoh sederhana saja dalam budaya menulis, banyak guru yang sudah mampu membuat tulisan di berbagai media, baik di Blog pribadi maupuan di media lain, tetapi pengawas masih terlalu sedikit yang mampu melakukannya. Belum lagi kita bicara tentang penguasaan teknologi informasi secara leibh luas.
Jangan terulang kedua kali pada kesalahan yang sama, yaitu guru baru diberikan pelatihan untuk meningkatkan kompetensinya, sementara itu pengawas terabaikan. Semestinya pengawas juga harus menjadi fokus perhatian, sebab sebagai ujung tombak penjaminan mutu pendidikan pengawas harus memiliki kompetensi yang tinggi dan luas agar dapat membina guru, kepala sekolah, tenaga admininistrasi dan bahkan kelembagaan sekolah itu sendiri. Kita tunggu aksi Pemerintah Aceh memberdayakan pengawasnya. Semoga sukses.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar