Lebih dari 3 jam saya menunggu pertemuan ini.
Sang tuan rumah tidak semudah saya dalam membagi waktu bahkan untuk sebuah
pertemuan di kantornya sendiri. Galeri Balitaku dan kantor Majalah Potret
adalah tempat tinggal sekaligus kantor bagi sahabat saya yang sudah saya kenal
sejak tahun 1998 lalu. Perkenalan yang terjadi akibat adanya berbagai kegiatan
Lembaga Swadaya Masyarakat Aceh.
Bang Tabrani, saya memanggilnya begitu, adalah
seorang guru Bahasa Inggris yang aktif berkiprah dalam pengembangan pendidikan formal
di sekolah dan nonformal melalui lembaga swadaya yang dipimpinnya yaitu CCDE. Pertemuan
ini merupakan pertemuan pertama sejak 10 tahun terakhir bahkan lebih. Jadi
wajar kalau penantian tiga jam itu tidak berarti apa-apa dibandingkan kerinduan
untuk mendapatkan diskusi dan pencerahan dari sosok aktivis senior ini.
Para staf di kantor Majalah Potret mengatakan
Bang Tabrani sedang ada sesi. Dan memang benar, kami dapat telpon dari beliau
langsung bahwa saat itu sedang mengisi sebuah Pelatihan di Hotel Mekkah Banda
Aceh. Untuk memanfaatkan masa-masa menunggu itu, saya mengisinya dengan
kegiatan mengunjungi toko buku Zikra di Kota Banda Aceh. Maklumlah, di tempat
saya tinggal, di Kota Peureulak, belum ada toko buku selengkap Zikra Banda
Aceh.
Dari toko buku kami kembali lagi ke Kantor Majalah
Potret, dan tak lama kemudian Bang Tabrani pun datang. Kami saling sapa dan
bertanya kabar, Alhamdulillah beliau tidak jauh berubah, bahkan tidak tampak
wajah kesusahan yang tergores sedikitpun di wajahnya meski seluruh keluarga,
anak-anak dan isterinya telah “merdeka” bersama musibah tsunami tahun 2004
lalu.
Satu hal yang masih saya dapati dari beliau dan
tidak hilang sama sekali adalah bagaimana beliau mendidikk anak-anaknya dalam
berbahasa. 2 orang anak beliau yang belum genap 8 tahun pun dan seorang yang
masih belum bersekolah telah dilatih berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris.
Komunikasi menggunakan bahasa Inggris ini saya tahu persis telah beliau lakukan
sejak dahulu. Bagi beliau pembiasaan pengunaan Bahasa Inggris di rumah memiliki
banyak keuntungan, antara lain:
- 1. Menghemat biaya les Bahasa Inggris yang memang tidak murah lagi di Banda Aceh. Bayangkan kalau sejak kelas 5 Sekolah Dasar anak sudah harus les Bahasa Inggris, tentu tidak sedikit biaya yang dikeluarkan. Apalagi kalau sebuah keluarga punya banyak anak, lebih banyak lagi biaya yang harus dikeluarkan.
- 2. KSetiap Saat. Kapan saja kita mau didik selalu ada kesempatan di rumah. Tidak harus menunggu jadwal les, pagi dan siang, sore ataupun malam selalu ada kesempatan berlatih. Bukankah semakin sering berlatih akan semakin membuat anak kita mahir.
- . Pembelajaran kontekstual. Tidak perlu mengikuti jadwal les berdasarkan tema. Pada pagi hari pembelajaran bisa saja tentang bangun tidur. Di siang hari anak bisa dilatih komunikasi tentang makanan atau jajanan ringan, malam hari bisa tentang bulan purnama, dan lain-lain. Anak belajar berkomunikasi sesuai dengan suasana yang sedang dialami, langsung tanpa ada rekayasa tema. Pembelajaran yang sesuai dengan kondisi nyata dan langsung tentu akan lebih memudahkan proses pembelajaran dan memberikan ingatan yang lama dalam memory otaknya.
- 4. Semua benda yang ada di dalam rumah dan di sekitar rumah adalah media pembelajaran gratis. Tidak perlu belanja media, kita tinggal memanfaatkan apa yang ada.
Tentu masih banyak keunggulan lain yang saya
lihat dari proses pembelajaran komunikasi Bahasa Inggris di rumah. Dan saya
tahu kalau sobat saya ini konsisten dengan gerakan pembelajaran bahasa inggris
bagi darah dagingnya. Konsisten menjadi salah satu kunci keberhasilan
pendidikan di rumah. Kalau dicermati lagi, apa yang telah dilakukan Bang Tabrani
Yunis terhadap anak-anaknya mirip dengan kegiatan Home schooling. Meski
tidak mirip 100%, tetapi bisa saja ini dikatakan home schooling ala
aktivis pendidikan.
Ngobrol dengan Bang Tabrani ternyata terasa
singkat. Tak terasa waktu beliau sudah habis untuk saya karena beliau harus
kembali mengisi pelatihan lagi. Di saat-saat akhir diskusi, beliau menyatakan
tentang keinginan meningkatkan kemampuan guru dalam kompetensi menulis. Namun kemampuan
menulis ini juga harus dimbangi dengan kemampuan membaca. Dari dua kompetensi
ini, membaca dan menulis ternyata yang harus didahulukan adalah kompetensi
membaca. Sebagaimana ummat Islam diperintahkan dengan perintah Membaca (Iqra). Oleh
karena itu misi selanjutnya adalah gerakan Sekolah Literasi atau sekolah Iqra
di Aceh. Akankah ini menjadi gerakan seumpama home schooling di keluarga
sahabat saya, mari kita jadikan sekolah literasi di Aceh ini gerakan pembelajaran
seperti prinsip-prinsip home schooling ala aktivis. Selamat datang para agen
literasi Aceh.
Garuda Plaza Hotel,
16 Oktober 2014
Alhamdulilah. Saya senang membacanya. Semua bisa ditulis, semua bisa menulis. Sukses selalu
BalasHapussama-sama bang, tksh telah menginspirasi
Hapus