Kamis, 16 Oktober 2014

“HOME SCHOOLING ALA AKTIVIS PENDIDIKAN”



Lebih dari 3 jam saya menunggu pertemuan ini. Sang tuan rumah tidak semudah saya dalam membagi waktu bahkan untuk sebuah pertemuan di kantornya sendiri. Galeri Balitaku dan kantor Majalah Potret adalah tempat tinggal sekaligus kantor bagi sahabat saya yang sudah saya kenal sejak tahun 1998 lalu. Perkenalan yang terjadi akibat adanya berbagai kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat Aceh.

Bang Tabrani, saya memanggilnya begitu, adalah seorang guru Bahasa Inggris yang aktif berkiprah dalam pengembangan pendidikan formal di sekolah dan nonformal melalui lembaga swadaya yang dipimpinnya yaitu CCDE. Pertemuan ini merupakan pertemuan pertama sejak 10 tahun terakhir bahkan lebih. Jadi wajar kalau penantian tiga jam itu tidak berarti apa-apa dibandingkan kerinduan untuk mendapatkan diskusi dan pencerahan dari sosok aktivis senior ini.

Para staf di kantor Majalah Potret mengatakan Bang Tabrani sedang ada sesi. Dan memang benar, kami dapat telpon dari beliau langsung bahwa saat itu sedang mengisi sebuah Pelatihan di Hotel Mekkah Banda Aceh. Untuk memanfaatkan masa-masa menunggu itu, saya mengisinya dengan kegiatan mengunjungi toko buku Zikra di Kota Banda Aceh. Maklumlah, di tempat saya tinggal, di Kota Peureulak, belum ada toko buku selengkap Zikra Banda Aceh.

Dari toko buku kami kembali lagi ke Kantor Majalah Potret, dan tak lama kemudian Bang Tabrani pun datang. Kami saling sapa dan bertanya kabar, Alhamdulillah beliau tidak jauh berubah, bahkan tidak tampak wajah kesusahan yang tergores sedikitpun di wajahnya meski seluruh keluarga, anak-anak dan isterinya telah “merdeka” bersama musibah tsunami tahun 2004 lalu.

Satu hal yang masih saya dapati dari beliau dan tidak hilang sama sekali adalah bagaimana beliau mendidikk anak-anaknya dalam berbahasa. 2 orang anak beliau yang belum genap 8 tahun pun dan seorang yang masih belum bersekolah telah dilatih berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris. Komunikasi menggunakan bahasa Inggris ini saya tahu persis telah beliau lakukan sejak dahulu. Bagi beliau pembiasaan pengunaan Bahasa Inggris di rumah memiliki banyak keuntungan, antara lain:


  1. 1.       Menghemat biaya les Bahasa Inggris yang memang tidak murah lagi di Banda Aceh. Bayangkan kalau sejak kelas 5 Sekolah Dasar anak sudah harus les Bahasa Inggris, tentu tidak sedikit biaya yang dikeluarkan. Apalagi kalau sebuah keluarga punya banyak anak, lebih banyak lagi biaya yang harus dikeluarkan.
  2. 2.     KSetiap Saat. Kapan saja kita mau didik selalu ada kesempatan di rumah. Tidak harus menunggu jadwal les, pagi dan siang, sore ataupun malam selalu ada kesempatan berlatih. Bukankah semakin sering berlatih akan semakin membuat anak kita mahir.
  3. .       Pembelajaran kontekstual. Tidak perlu mengikuti jadwal les berdasarkan tema. Pada pagi hari pembelajaran bisa saja tentang bangun tidur. Di siang hari anak bisa dilatih komunikasi tentang makanan atau jajanan ringan, malam hari bisa tentang bulan purnama, dan lain-lain. Anak belajar berkomunikasi sesuai dengan suasana yang sedang dialami, langsung tanpa ada rekayasa tema. Pembelajaran yang sesuai dengan kondisi nyata dan langsung tentu akan lebih memudahkan proses pembelajaran dan memberikan ingatan yang lama dalam memory otaknya.
  4. 4.       Semua benda yang ada di dalam rumah dan di sekitar rumah adalah media pembelajaran gratis. Tidak perlu belanja media, kita tinggal memanfaatkan apa yang ada.
Tentu masih banyak keunggulan lain yang saya lihat dari proses pembelajaran komunikasi Bahasa Inggris di rumah. Dan saya tahu kalau sobat saya ini konsisten dengan gerakan pembelajaran bahasa inggris bagi darah dagingnya. Konsisten menjadi salah satu kunci keberhasilan pendidikan di rumah. Kalau dicermati lagi, apa yang telah dilakukan Bang Tabrani Yunis terhadap anak-anaknya mirip dengan kegiatan Home schooling. Meski tidak mirip 100%, tetapi bisa saja ini dikatakan home schooling ala aktivis pendidikan.
Ngobrol dengan Bang Tabrani ternyata terasa singkat. Tak terasa waktu beliau sudah habis untuk saya karena beliau harus kembali mengisi pelatihan lagi. Di saat-saat akhir diskusi, beliau menyatakan tentang keinginan meningkatkan kemampuan guru dalam kompetensi menulis. Namun kemampuan menulis ini juga harus dimbangi dengan kemampuan membaca. Dari dua kompetensi ini, membaca dan menulis ternyata yang harus didahulukan adalah kompetensi membaca. Sebagaimana ummat Islam diperintahkan dengan perintah Membaca (Iqra). Oleh karena itu misi selanjutnya adalah gerakan Sekolah Literasi atau sekolah Iqra di Aceh. Akankah ini menjadi gerakan seumpama home schooling di keluarga sahabat saya, mari kita jadikan sekolah literasi di Aceh ini gerakan pembelajaran seperti prinsip-prinsip home schooling ala aktivis. Selamat datang para agen literasi Aceh.
Garuda Plaza Hotel,

16 Oktober 2014 

2 komentar:

  1. Alhamdulilah. Saya senang membacanya. Semua bisa ditulis, semua bisa menulis. Sukses selalu

    BalasHapus