Sabtu, 22 April 2017

UANG DAN SEKOLAH






Banyak organisasi yang dibentuk untuk kepentingan profit. Organisasi bisnis adalah salah satu contoh nyata bahwa pembentukannya memang untuk mencari keuntungan. Segala keuntungan yang bisa lebih mudahnya diganti dengan sebutan uang. Ya, hanya uang yang dikumpulkan dan uang juga yang dijadikan sebagai alat berjalannya organisasi profit. Bila uang sudah tidak bisa didapat lagi berarti organisasi teresbut dikatakan bangkrut dan akan "gulung tikar" segera mungkin.

Lalu bagaimanakah dengan sekolah, Apakah sekolah termasuk organisasi profit?

Sejarah panjang sekolah tentu bisa kita dapat dari berbagai referensi. Tetapi yang paling sederhana sekolah adalah organisasi atau institusi negara yang dibentuk untuk memberi pelayanan kepada warga negara di bidang pendidikan. Pelayanan ini tentu tidak didasari mencari keuntungan secara finansial berupa uang. Tidak ada sekolah yang dibentuk untuk mencari uang. Jika ada sekolah yang dibentuk oleh siapapun dan ditujukan untuk mendapatkan keuntungan berupa uang tanpa mempertimbangkan aspek-aspek pelayanan publik, maka sesungguhnya yang sedang dibangun itu bukan sekolah, melainkan pabrik pendidikan.

Sekolah sebagai sebuah institusi negara tentu dibentuk oleh negara. Negara punya kuasa untuk membangun sekolah di setiap tempat dimana warga negara membutuhkan pelayanan publik di bidang pendidikan. Masyarakat boleh membantu membangun di tempat-tempat yang belum ada sekolah karena keterbatasan pemerintah. Tetapi ini juga mestinya tidak boleh terjadi. Bila masyarakat yang membangun sekolah, biasanya visi misi sekolah akan disesuaikan dengan keinginan pendiri sekolah, tidak murni lagi untuk memberikan pelayanan publik di bidang pendidikan.

Sekolah-sekolah yang dibangun oleh pemerintah diberi gelar sekolah negeri. Semua fasilitas disediakan oleh negara. Inilah yang sekarang masih menjadi persoalan dasar, betapa pemerintah belum bisa sepenuhnya memenuhi kebutuhan dasar yang harus ada di seklah, misalnya; guru, sarana, dan pembiyaan yang memadai. SEringkali kita temui sekolah yang baru dibangun dengan cepat akan punya gedung, dilengkapi dengan satu orang kepala sekolah. TEtapi sekolah baru tersebut akan lama sekali memiliki guru yang lengkap, sarana yang memadai, dan pembiayaan yang cukup.  Dengan berbagai kekurangan itulah sekolah-sekolah negeri memulai operasionalnya, serba keterbatasan dalam jangka waktu yang tidak terbatas juga, bisa lama namun bisa juga hanya beberapa tahun.

Hal yang berbeda terjadi ketika sekolah dibangun oleh pihak swasta yang punya banyak uang. Gedung sekolahnya belum rampung tetapi mereka sudah memiliki kepala sekolah, guru, dan stat tata usaha hasil seleksi. Tak tanggung-tanggung malah, seleksinya bisa terjadi secara nasional. Tetapi sekolah seperti ini biasanya juga banyak diisi oleh para siswa dari kalangan tertentu terutama yang memiliki uang banyak, keluarga pejabat, atau keluarga para elit di negeri ini.

Sekolah-sekolah negeri yang tidak punya guru cukup, tentu harus menerima guru honor atau guru bakti. para guru non PNS ini melakukan pekerjaan sama seperti PNS tetapi mendapatkan penghasilan yang lebih rendah dari upah pekerja kasar. ADa daerah yang hanya membayar 5 ribu rupiah bagi guru yang telah melaksanakan tugas mengajar 4 x 45 menit. Itupun dibayarnya per triwulan. KEnapa tiap 3 bulan? Itu disebabkan sumber honorarium mereka berasal dari dana Bantuan Operasional Sekolah.

Juknis Penggunaan dana BOS pun selalu berubah. Hampir setiap tahun ada perubahan. Syukur kalau perubahannya itu makin membuat sejahtera sekolah. Beberapa tahun yang lalu para kepala sekolah sempat dibuat pusing oleh dana BOS ini. Masalahnya adalah dalam juknis BOS dilarang membayar honor guru non PNS. TErus dari mana honor para guru non PNS ini! Minta uang dari masyarakat gak boleh, katanya itu pungli. sedangkan di sekolah jumlah guru honor melebihi guru PNS. Tidaklah mungkin tugas negara ini dilakukan secara kerja bakti oleh para guru honor yang jelas-jelas melaksanakan tugas negara dalam memberikan pelayanan pendidikan di negeri ini.

Uang atau pembiayaan memang telah diatur menjadi salah satu standar yang wajib dipenuhi. Siapakah yang wajib memenuhi standar pembiayaan ini? Kalau memang sekolah tidak boleh minta apapun lagi dari orang tua, maka negara secepatnya harus memenuhi kebutuhan biaya operasional sekolah dengan layak. Kalau biaya yang diberikan ala kadar saja, bagaimana mau nuntut mutu yang tinggi. Persoalan biaya, masalah kutip mengutip, kini masih menjadi isu yang sering muncul ke publik disamping berita yang terkait dengan pelaksanaan UJian Nasional (UN).

Ulah oknum sekolah juga bisa saja terjadi. Melakukan aksi-aksi untuk keuntungan pribadi. Selalu ada kemungkinan manipulasi penggunaan dana-dana yang ada di sekolah untuk kepentingan pribadi. Hal ini tentu menjadi tugas pemerintah untuk melakukan pengawasan dan pembinaan di setiap institusinya termasuk di sekolah. Kalau ada kepala sekolah atau pun guru yang "nyeleweng", itu berarti ada kesalahan negara juga dalam melakukan pengawasan dan pembinaan aparatnya di sekolah.

Uang bisa jadi penyelesaian, tetapi uang juga bisa menjadi sumber konflik. Perbedaan penghasilan sesama guru honor atau tenaga kependidikan honor di suatu sekolah bisa menimbulkan kecemburuan. Oleh karena itu, penting dimiliki oleh kita yang saat ini berkecimpung di dunia pendidikan, khususnya di sekolah, janganlah menjadi uang sebagai tujuan keberadaan kita di sekolah. Percayalah, bila kita menjadikan uang sebagai target dan tujuan, bukan sifat pendidik yang ada pada kita, melainkan sifat penjilat dan serakah yang menguasai rongga dada kita. Naudzubillah.

Salam literasi kawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar