Kamis, 25 November 2021

DARI ATAS INNOVASI, DARI BAWA BISA ANARKI

 

)


Innovasi adalah kata yang mudah diucapkan tapi sulit saat dilaksanakan. Apalagi innovasi dalam bidang pendidikan. Persoalan pendidikan yang kompleks menjadikan banyak persoalan pendidikan tidak dapat dikenakan innovasi. Setidaknya itulah yang saya tangkap dari salah satu bahasan padat saat zoom kuliah Filsafat dengan Prof. Marsigit. Pertemuan yang dilaksanakan pada tanggal 11 Nopember 2021, Hari Kamis lalu berisi banyak pokok bahasan. Salah satunya adalah tentang Innovasi pendidikan di Indonesia. Selain itu Prof. juga memaparkan tentang pemanfaatan budaya sebagai sarana pembelajaran matematika.

Diselingi senyum khas Prof (saya rasa rekan-rekan mahasiswa kelas A tidak akan bisa lupakan) terkadang masuk kritik membangun. Membangun pemahaman tentang bagaimana merubah mindset mahasiswa S3 yang setelah tamat nanti bisa saja akan menjadi pemimpin di setiap instansinya masing-masing. Ini yang paling ditunggu-tunggu setiap kali zoom berlangsung. Teman-teman menunggu buah pikir yang dalam dan dipadukan dengan pengalaman Prof. Marsigit yang begitu luas, sehingga saat kritik membangun itu mengalir enteng saja dari bibir akademiknya, kami tak bisa memberi komentar, apalagi membantah. Kami hanya bisa tersenyum-senyum malu. Apalagi saat beliau mengatakan bahwa tanpa sadar, kita ini dianggap sebagai bangsa yang kurang kompeten (kira-kira begitu) karena cuma bisa tersenyum. Memang senyum itu ibadah, tetapi senyum-senyum saat ada masalah itu bisa diartikan kita tidak mampu. 

Kita ini bangsa yang paling sering lupa, kata Prof. sambil tersenyum. Kami pun agar merasa gimana gitu, dibilang kita ini bangsa pelupa. Lah, tapi Prof. malah senyum-senyum. "Jangan marah kalau ada yang bilang kita ini pelupa, kalau tidak gampang lupa, mungkin kita saat ini sudah jadi Belanda atau jadi Jepang, karean dijajah bertahun-tahun lamanya. Untung kita pelupa, jadinya kita tetap sebagai Bangsa Indoensia saja. 

Mendengar penjelasan Prof. tentang pemanfaatan budaya dalam pembelajaran matematika juga menarik menurut saya. Budaya kita yang beragam ini kalau digunakan sebagai media beajar matematika pasti akan lebih bermakna dan membuat siswa bisa berkegiatan sosial melalu pembelajaran matematika. dicontohkan juga oleh Prof. bagaimana beliau menyampaikan budaya Palembang yang dijadikan sebagai contoh pemanfaatan dalam pembelajaran matematika. asyik memang, malah sangat menarik dan membuat 2 SKS itu berlalu begitu singkat.

Lalu bagaimana dengan Innovasi pendidikan?  Ada pendapat Prof. yang sulit sekali dibantah argumentasinya. Innovasi itu, di setiap organisasi dimulai dari atas. Perubahan harus dimulai dari pemimpin, bukan dari bawah. Kalau innovasi itu dimulai dari bawah, bisa-bisa akhirnya menjadi anarki. Apalagi di Indonesia. Contoh yang bisa beliau sampaikan adalah tentang persoalan juara PISA dan perankingan pendidikan tingkat Dunia. TErnyata Kunci sukses Finlandia sebagai negara terbaik di bidang pendidikan, adalah CBSA. Bukankah CBSA ini sudah pernah kita lakukan? Memang, sudah qodrat bahwa dalam pembelajaran itu yang akitf adalah siswa, tapi menurut Prof. Marsigit, di Finlandia, CBSA dilakukan karena itu disepakati sebagai kebutuhan metodelogis untuk para siswanya. Beda dengan di Indonesia, CBSA di kita berjalan karena masuk sebagai program Kementrian bidang pendidikan, sehingga saat programnya selesai, CBSA pun berhenti. Begitulah bangsa kita, cepat bosan walau belum ahli.

Jadi jika dalam kelas ingin terjadi perubahan dan ada innovasi-innovasi terbaru, itu harus dimulai dari guru sebagai pemimpin pembelajaran. Bila dalam satu unit sekolah ingin dilakukan perubahan terhadap kinerja guru menjadi lebih baik, maka kepala sekolah harus mulai melakukan perubahan lebih dulu. begitu seterusnya hingga ke Pucuk pimpinan tertinggi. Namun, semua innovasi ini harus juga diikuti oleh adanya motivasi dari siswa saat gurunya berinnovasi. Motivasi guru mendukung innovasi kepala sekolah, dan begitu seterusnya sampai kepada pimpinan tertinggi di Negara kita.

Semoga, di Hari Guru Nasional tahun 2021 ini, semua kita mampu melakukan innovasi sesuai dengan level yang kita miliki saat ini.

Salam Luruh Ego





Senin, 08 November 2021

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PEMBELAJARAN

 Sebagaimana tulisan saya tanggal 29 Oktober 2021, tentang 18 Koreksi Kritis Bagi Kurikulum Baru, terdapat sebuah kritik atau usulan dari Prof. Marsigit, tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran. Alhamdulillah pada Kuliah Kamis lalu, tanggal 4 Nopember 2021, saya langsung meminta penjelasan beliau tentang apa yang dimaksud dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran (KTSPBl). 

     "apa yang dimaksud dengan KTSPBl?"


Kurikulum Tingkat Satua eEndidikan (KTSP) itu sudah bersifat otonom atau desentralisasi. Pemerintah Pusat hanya memberikan ketentuan Kompetensi yang harus dicapai untuk seluruh sekolah, ada Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Otonom di tingkat sekolah walaupun pada pelaksanaannya sekolah jarang yang mampu memasukkan kompetensi lain selaian kompeensi-komeptensi yang sudah ditentukan oleh Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Riset Dikti

Kurikulum Tingkat Satuan Pembelajaran, otonominya berada pada kegiatan pembelajaran dan ditentukan oleh kebutuhan guru dan siswa dalam pembelajaran. Gambaran sederhanya seperti ini. Misalkan hari ini, Selasa, 9 Nopember 2021 Kita mengajar di kelas XI, IPA. Sebelum pembelajaran berakhir, guru memberikan pertanyaan tentang "apa yang ingin dipelajari siswa pada pertemuan berikutnya (Hari Selasa yang akan datang). 

Jawaban-jawaban siswa lalu dipealari oleh guru. Guru mengelompokkan daftar kegiatan yang ingin dilakukan oleh siswa pada pertemuan berikutnya. Guru lalu menyiapkan media-media yang akan digunakan, menyiapkan srategi dan metode yang sesai dengan keinginan dan kebutuhan Siswa. Dalam hal ini guru juga membuat Lembar Kegiatan Siswa untuk membantu siswa belajar sesuai dengan daftar usulan tadi. sehingga LKS itupun nantinya benar-benar memuat apa yang dibutuhkan dan ingin dipelajari oleh para siswa.

Dalam KTSPBl, semua benar-benar berorientasi pada siswa, sehingga apersepsi pun itu adalah kegiatan siswa, bukan kegiatan guru. begitu juga dengan kegiatan pembelajaran dalam kegiatan inti, sudah merupakan materi yang diminta atau diinginkan oleh siswa pada minggu sebelumnya. dalam hal ini guru menjadi punya otoritas untuk mengembangkan desain pembelajaran. dan ini unik, karena kegiatan pembelajaran di sekolah yang sama tetapi pada kelas paralel yang berbeda, kegaitan pembelajaran bisa berbeda.

KTSPBl akan membuat para siswa berkembang sesuai dengan tuntutan kompetensi nasional yang telah ditetapkan dalam KI dan KD dari pusat, dan ditambah dengan Kompetensi Dasar lain yang berasal dari para siswa sesuai dengan kebutuhan siswa masing-masing. Dan sayup-sayup saya berharap KTPSPBl akan bisa saya lakukan di waktu yang tidak lama lagi.


SAlam Luruh Ego, Kamis, 4 Nopember 2021



Rabu, 03 November 2021

Refleksi Kuliah Filsafat "BIOLOGI SEBAGAI ILMU ATAU KEGIATAN?"


 Kamis, 28 Oktober 2021 ada yang spesial dalam Kulih Filsafat bersama Prof. Dr. Marsigit, M.A. Dari sekian banyak interaksi, pada hari inilah ada satu bahasan yang bingin mindset saya bergeser, mereng ke kanan dan ke kiri. Bagaimana tidak merek, keyankin dan faham yang sudah bertahun-tahun sejak saya kuliah dan jadi guru Biologi, ternyata harus "digeser".

                        Pak Nurdin, menurut anda "apa itu Biologi"

Pertanyaan yang gampang banget jawabannya karena ini pertanyaan dasar pun waktu kuliah tempo hari. saya langsung jawab 

                    "Biologi adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk makhluk hidup, prof".

Prof. Marsigit tersenyum dan mulai melakukan pembahasan. Panjang ulasan beliau, tetapi secara ringkas saya tuliskan seperti di bawah ini.

Itulah "kesalahan" kita selama ini. Ilmu itu adalah diskusi para pakar, seperti diksusi kita hari ini antara calon doktor dengan guru besar (profesor). Ilmu itu konsumsinya orang-orang dewasa yang kuliah di S1, S2, dan S3. Anak SD, anak SMP dan SMP untuk apa ilmu itu, mereka belum butuh ilmu. Benar apa yang Prof. Marsigit katakan, ilmu itu kebutuhannya orang tua, kita guru ini yang butuh ilmu. Ketika kita memaksakan anak harus menerima ilmu, anak belajar ilmu, itu sama dengan kita memaksakan keinginan orang tua kepada anak-anak. Apakah ini yang disebut pendidikan? Tentu bukan. Pendidikan tidak bisa berjalan dengan jalan main paksa, termasuk paksa (wajib) belajar 6 tahun, 9 tahun dan juga 12 tahun.

lalu, kalau Biologi itu bukan ilmu jadi apakah dia? Biologi untuk level SD, SMP dan SMA adalah kegiatan sosial untuk memahami makhluk hidup. Berbentuk kegiatan, dikemas dalam berbagai kegiatan, jadi bukan diskusi ilmu. Bagaimana anda mau berdiskusi tentang ilmu kepada anak-anak yang belum berilmu. Anak-anak punya hak untuk melakukan kegiatan sosial. Begitulah sebaiknya, karena memang Ideologi Pendidikan Publik menempatkan anak sebagai pusat pembelajaran (student oriented). Selama kita mengartikan Biologi sebagai ilmu di level SD, SMP dan SMA, maka itu bisa dikatakan bahwa kita sebagai orang tua sedang "menjajah", "memaksakan kehendak" kepada anak-anak kita di bangku sekolah.

Prof melanjutkan kuliahnya. Matematika saja sudah berani mengatakan bahwa matematika adalah kegiatan sosial. sehingga pembelajaran matematika di sekolah-sekolah tidak lagi menakutkan. anak belajar matematika sesuai kebutuhannya dan sesuai dengan usia mereka masing-masing. Matematika bukanlah ilmu yang harus diturunkan, atau dipaksakan untuk dipelajari kepada semua siswa meskipun mereka tidak butuh itu dan belum saatnya menguasai ilmu itu.

Jujur, penjelasan ini awalnya membebani pikiran saya. Menjadi beban karean mengingat betapa gigihnya saya selama ini memaksakan ilmu yang ada dalam pikiran saya harus ada juga di dalam pikiran siswa-siswi saya. untuk itu saya mohon maaf kepada semua siswa-siswi saya yang telah terpaksa belajar Biologi sebagai ilmu.


Salam Luruh Ego


Babeh Nurdin, Peureulak 4 Nopember 2021