Sumber : https://antikjadullangka.blogspot.com/
Sejak kecil kami sudah sering bersama, saya, bokap, dan abang saya yang sekarang biasa dipanggil Ayah Sadam, punya budaya diskusi. Ngobrol bareng ala betawi yang juga lazim dikenal dengan istilah kongkow. Setiap kongkow berlangsung selalu tanpa agenda, tak direncanakan dan bahkan gak punya durasi. Selama mata masih kuat melek, kongkow bisa berlangsung semalam suntuk, dari siap shalat isya bisa sampai azan subuh baru bubar.
Suatu malam saat kongkow, waktu tepatnya gak inget saya tapi itu terjadi setelah saya kuliah di Unsyiah (USK), antara 1994 s.d 2000, terjadi obrolan tentang pengalaman bokap (sekarang beliau sudah almarhum) bersekolah di Sekolah Rakyat (SR). Tahun 1950an memang di kampung kami tidak ada SR. Sekolah terdekat tersebut ada di tanah tinggi, di seberang aliran kali cisadane yang mengalir dari pintu air Tangerang menuju Kalideres Jakarta. Bokap harus berenang menyebrangi sungai. Maklum, saat itu belum ada jembatan Batuceper seperti sekarang. Kata bokap, baju dan celana dibuka, lalu diikat diatas kepala agar tidak basah saat berenang. Titik start berenang disesuaikan dengan kecepatan arus kali Cisadani saat itu.
Saya dan Ayah Sadam gak heran sih kalau bokap berenang, karena memang beliau terkenal jago berenang di kampung kami (Desa Batujaya yang sekarang menjadi Desa Batusari). Selain jago berenang, beliau juga ahli menyelam, kalau kedalaman kali Cisadane yang mengalir ke Kalideres serta deras airnya itu bukan masalah besar buat bokap. Hanya karena biayalah maka bokap gak tamat SR. Kembali ke fokus keheranan kami tadi, lalu dimana buku-buku yang dibawa bokap, apa gak basah. Kami tanyakan itu langsung ke bokap. Jawabannya adalah ternyata bokap gak pake buku. Saat itu yang menjadi alat tulis disebut grip dan bukunya bernama sabak. Sabak merupakan batu yang gak masalah kalaupun basah akibat terendam air. jadi pakaian bokap diikat di atas sabak dan baru diikatkan keatas kepala (dijunjung). Ini rutin bokap lakukan setiap hari sekolah.
Menjelang pergantian milenial, mendengar cerita bokap tentang sabak dan grip seperti mimpi masa lalu. Jadul banget perasaan waktu itu. Kami sudah menggunakan buku, baik itu buku tulis, buku gambar dan buku kotak-kotak. Saat buku sudah digunakan di sekolah, maka grip dan sabak menjadi barang kuno yang tidak relevan lagi digunakan. Kata bokap, dulu pelajaran itu ditulis di sabak, lalu dihafal dan setelah hafal maka tulisan harus dihapus karena akan diganti dengan tulisan baru untuk materi baru. dan ini terjadi setiap hari. Makanya wajar meski hanya kelas 3 SR, pengetahuan bokap luas dan dalam.
Apa yang dialami bokap saat sekolah meskipun hanya terkait dengan alat tulis, semua itu tidak kami alami lagi. grip dan sabak digantikan dengan buku dan pulpen. Dan sekarang, buku dan pulpen itu bernasib sama dengan grip dan sabak, mereka menjadi jadul dan perlahan mulai banyak ditinggalkan para pelajar. Para pelajar saat ini, apalagi yang bersekolah di kota-kota besar, bisa membaca tanpa buku dan bisa menulis tanpa pulpen. Semua peran buku dan pulpen sudah diambil alih oleh tablet, laptop (komputer) dan ponsel.
Senasib dengan buku dan pulpen, di masa depan bisa saja ruang kelas dan guru akan digantikan juga. Meski saat ini banyak yang meyakini bahwa guru tidak bisa digantikan dengan robot. Melihat kenyataan yang ada, kelak bisa saja orang akan malas belajar terjadwal dari jam 7.30 sampai pukul 13.30 di dalam ruangan. Dengan perkembangan teknologi pembelajaran saat ini, para siswa bisa belajar jam berapa saja sesuai kemauan mereka, dan bisa belajar dimana saja tidak mesti harus di dalam ruang kelas. Ruangan yang dulu kita sebut sebagai ruang maya (online/daring) mulai sering dikunjungi.
Perkembangan teknologi yang pesat dan kini telah berada di era RI 4.0, memungkinkan orang mengganti guru ril dengan guru maya, dan mengganti ruang kelas dengan ruang belajar maya. Lalu, pertanyaan besarnya adalah apakah kita sudah mengantisipasi ini semua dengan membelajarkan anak didik kita agar kelak siap menghadapi situasi ini saat anak-anak mereka atau cucu-cucu kita memasuki era tersebut dan bersekolah di zaman itu. Semoga kita tidak terlambat dan tidak pernah lupa untuk selalu melakukan adaptasi seperlunya, termasuk dalam membentuk sistem pendidikan yang sesuai dengan perkembangan zaman.